Music

Pages

Selasa, 15 Maret 2016

PERKEMBANGAN KAPITALISME DI INDONESIA





Perbincangan mengenai kapitalisme seringkali memicu perdebatan panjang, terutama mengenai dampak kapitalisme terhadap negara Indonesia. Seringkali pula, kapitalisme dijadikan sebab utama dari ketimpangan ekonomi yang ada saat ini. Namun tanpa mengesampingkan kepentingan pembahasan mengenai dampak kapitalisme, kita juga perlu memahami asal-usul dari kapitalisme itu sendiri di Indonesia. Menurut Tan Malaka (2000:39), kapitalisme bukanlah produk asli dari bangsa Indonesia melainkan sebuah sistem yang ditanamkan dari Eropa. Dalam tulisan kali ini, penulis menyatakan sependapat dengan Tan Malaka mengenai asal-usul kapitalisme di Indonesia.

Menurut Tan Malaka, kapitalisme erat kaitannya dengan industrialisasi (2000:39). Industrialisasi di Indonesia baru gencar dilakukan pada awal abad ke-20. Industrialisasi yang dilakukan juga bukanlah industrialisasi dalam bidang-bidang yang tidak asing bagi bangsa Indonesia, yaitu masih berkutat pada industrialisasi produk-produk perkebunan, pertanian, dan pertambangan. Adanya industrialisasi pada waktu itu dibuktikan dari dimulainya penggunaan mesin-mesin modern dalam proses pengolahan di perusahaan-perusahaan gula, karet, teh, minyak, arang, dan timah. Karena kapitalisme di Indonesia saat itu masih muda, produksi dan pemusatan industri belum mencapai tingkat yang seharusnya (Malaka, 2000:39). Sebagai perbandingan, pada tahun 1919 Jerman dengan luas tanah yang lebih kecil dan dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit dari Indonesia mempunyai 38.809 mil jalur kereta api apabila kita menggunakan jalur kereta api sebagai parameter kemajuan industri, sementara Indonesia hanya memiliki 3.914 mil (Malaka, 2000:41)

Pembangunan industri di Indonesia sendiri juga mengalami kejanggalan. Menurut Tan Malaka (2000:39), industri modern seharusnya dilaksanakan di luar pulau Jawa. Hal tersebut dikarenakan sumber daya alam yang digunakan dalam proses industri justru berada di pulau-pulau selain Jawa. Apabila melihat jumlah sumber daya pertambangan yang digunakan dalam industri modern, seharusnya Pulau Sumatera-lah yang menjadi pusat industri modern Indonesia. Namun saat ini yang terjadi justru sebaliknya. Jumlah industri modern di Pulau Jawa tidak sebanding dengan pulau-pulau lain. Hal ini menyebabkan penduduk dari luar Pulau Jawa menjadi bermigrasi ke Pulau Jawa guna mencari penghasilan yang lebih. Pendapat Tan Malaka ini juga didukung oleh pendapat Higgins (1958:55) yang mengatakan bahwa sebenarnya potensi industri Indonesia berada di Pulau Sumatera, bukan Pulau Jawa.

Tan Malaka (2000:41) juga melihat bahwa sebenarnya kapitalisme Indonesia tidak tumbuh dengan semestinya. Pada awal abad ke-20, apa yang terjadi di kapitalisme Indonesia berbeda dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat (Malaka, 2000:42). Di Amerika Serikat, terdapat semacam hubungan timbal balik antara kota dan desa. Kota memproduksi barang-barang yang menunjang aktifitas produksi desa, seperti peralatan pertanian, barang-barang besi, dan obat-obatan, sementara desa menyuplai barang pangan bagi kota. Harga barang hasil produksi kota dan hasil produksi desa juga relatif seimbang di Amerika Serikat saat itu. Dapat dikatakan bahwa kondisi ekonomi saat itu saling memenuhi, kota membutuhkan desa dan desa juga membutuhkan kota (Malaka, 2000:42). Namun saat itu di Indonesia justru yang terjadi tidak seperti itu.
Kota tidak mampu memproduksi barang-barang bagi desa, sehingga harus mengimpor barang-barang seperti mesin, keperluan rumah tangga, dan bahan-bahan pakaian dari luar negeri, sementara desa tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga tidak memungkinkan mengirimkan barang-barangnya ke kota. Selain itu, kapitalisme di Indonesia juga merupakan hasil dari investasi-investasi asing di Indonesia (Malaka, 2000:43).

Selain kapitalisme, sebenarnya terdapat satu sistem ekonomi yang merupakan produk dari Indonesia. Moh. Hatta (dalam Higgins, 1958:49) mengajukan sebuah konsep yang disebut dengan koperasi. Sistem koperasi tidak mengenal istilah pemilik modal dan kaum buruh, karena setiap anggota koperasi harus berperan aktif dalam koperasi. Moh. Hatta (dalam Higgins, 1958:52) juga merujuk pada Undang-Undang Dasar Sementara 1950, sebagai undang-undang dasar yang diakui saat itu, pasal 38 ayat 1 yang menunjukkan bahwa ekonomi nasional harus diatur berdasarkan nilai-nilai koperasi. Moh. Hatta (dalam Higgins, 1958:52) juga beranggapan bahwa sebenarnya nilai-nilai koperasi merupakan nilai yang telah ada dalam komunitas rakyat Indonesia. Salah satu nilai koperasi yang dijunjung dan dapat dianggap merupakan lawan dari kapitalisme adalah harga barang haruslah tetap dijaga dalam taraf yang rasional (Hatta dalam Higgins, 1958:53). Hal ini jelas berbeda dengan sistem kapitalisme yang lebih mementingkan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Namun dalam perkembangannya, sistem koperasi kurang dapat berkembang di Indonesia. Higgins (1958:55) melihat bahwa peran koperasi kurang begitu signifikan dalam perekonomian Indonesia secara makro. Pada tahun 1956, terdapat setidaknya 12.000 koperasi yang ada di masyarakat, dengan jumlah anggota sebanyak 2 juta, atau kurang dari 10 persen dari total seluruh penduduk Indonesia. Jumlah kapital yang ada di koperasi juga tidak banyak, yaitu sekitar 394 juta Rupiah, atau kurang dari 3 persen jumlah kapital yang dibutuhkan. Total transaksi koperasi juga terhitung kecil, yaitu hanya sekitar 2 persen dari seluruh pendapatan negara. Di era modern ini pun, koperasi, terutama di kota-kota, kurang begitu dimanfaatkan. Perannya di perkotaan kalah dengan badan usaha-badan usaha swasta, meskipun di pedesaan dan komunitas-komunitas kecil di perkotaan masih terdapat koperasi yang mampu berkembang.

Dari penjelasan di atas, penulis menyatakan sependapat dengan pandangan Tan Malaka bahwa kapitalisme bukan merupakan sistem ekonomi yang berasal Indonesia. Sistem kapitalisme yang berlangsung di Indonesia juga kurang berjalan dengan baik, mengingat masih banyak kejanggalan di beberapa aspek. Penulis juga melihat bahwa sebenarnya terdapat sebuah sistem ekonomi asli Indonesia, yaitu koperasi. Namun seiring berjalannya waktu, sistem koperasi kurang dapat berkembang dan kalah saing dengan sistem kapitalisme. Cita-cita Moh. Hatta untuk menggunakan sistem ekonomi berbasis koperasi juga belum dapat terlaksanakan.

Referensi:
Higgins, Benjamin. (1958). Hatta and Co-Operatives; The Middle Way for Indonesia. Annals of the American Academy of Political and Social Science, 49-57.
Malaka, Tan. (2000). Aksi Massa. Teplok Press.

0 komentar:

Posting Komentar