Seminar Nasional Ekonomi dan Politik In STIE Muhammadiyah Pekalongan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Gathering Leadership Forum 2015 In Surakarta

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

One Big Family of Iqtishoduna

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

One Big Family of Iqtishoduna

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

One Big Family of Iqtishoduna

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Music

Pages

Selasa, 26 April 2016

KISAH KEPRIHATINAN SEORANG PEMIMPIN KEPADA RAKYATNYA

Pelajaran mana yang lebih baik daripada sebuah keteladanan? Terlebih dalam kondisi ketika banyak pemimpin negeri kita yang tak amanah. Namun tak selayaknya kita berputus asa, justru kita wajib berdoa. Semoga Allah kan hadirkan sosok pemimpin teladan seperti sejarah merekam Umar bin Khattab dan kepemimpinan beliau





Krisis itu masih melanda Madinah. Korban sudah banyak berjatuhan. Jumlah orang-orang miskin terus bertambah. Khalifah Umar Bin Khatab yang merasa paling bertanggung jawab terhadap musibah itu, memerintahkan menyembelih hewan ternak untuk dibagi-bagikan pada penduduk.

Ketika tiba waktu makan, para petugas memilihkan untuk Umar bagian yang menjadi kegemarannya: punuk dan hati unta. Ini merupakan kegemaran Umar sebelum masuk islam. “Dari mana ini?” Tanya Umar.

“Dari hewan yang baru disembelih hari ini,” jawab mereka.

“Tidak! Tidak!” kata Umar seraya menjauhkan hidangan lezat itu dari hadapannya. “Saya akan menjadi pemimpin paling buruk seandainya saya memakan daging lezat ini dan meninggalkan tulang-tulangnya untuk rakyat.”
Kemudian Umar menyuruh salah seorang sahabatnya,” Angkatlah makanan ini, dan ambilkan saya roti dan minyak biasa!” Beberapa saat kemudian, Umar menyantap yang dimintanya.

Kisah yang dipaparkan Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya ar-Rijal Haular Rasul itu menggambarkan betapa besar perhatian Umar terhadap rakyatnya. Peristiwa seperti itu bukan hanya terjadi sekali saja. Kisah tentang pertemuan Umar dengan seorang ibu bersama anaknya yang sedang menangis kelaparan, begitu akrab di telinga kita. Ditengah nyenyaknya orang tidur. Ia berkeliling dan masuk sudut-sudut kota Madinah.

Ketika bertemu seorang ibu dan anaknya yang sedang kelaparan, Umar sendiri yang pergi mengambil makanan. Ia sendiri juga yang memanggulnya, mengaduknya, memasaknya dan menghidangkannya untuk anak-anak itu.

Ketika kelaparan mencapai puncaknya Umar pernah disuguhi remukan roti yang dicampur samin. Umar memanggil seorang badui dan mengajaknya makan bersama. Umar tidak menyuapkan makanan ke mulutnya sebelum badui itu melakukannya terlebih dahulu. Orang badui sepertinya sangat menikmati makanan itu. “Agaknya Anda tidak pernah merasakan lemak?” Tanya Umar.

“Benar,” kata badui itu. “Saya tidak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun. Saya juga sudah lama tidak menyaksikan orang-orang memakannya sampai sekarang,” tambahnya.
Mendengar kata-kata sang badui, Umar bersumpah tidak akan makan lemak sampai semua orang hidup seperti biasa. Ucapannya benar-benar dibuktikan. Kata-katanya diabadikan sampai saat itu, “Kalau rakyatku kelaparan, aku ingin orang pertama yang merasakannya. Kalau rakyatku kekenayangan, aku ingin orang terakhir yang menikmatinya.”

Padahal saat itu Umar bisa saja menggunakan fasilitas Negara. Kekayaan Irak dan Syam sudah berada ditangan kaum Muslimin. Tapi tidak. Umar lebih memilih makan bersama rakyatnya.

Pada kesempatan lain, Umar menerima hadiah makanan lezat dari Gubernur Azerbeijan, Utbah bin Farqad. Namun begitu mengetahui makanan itu biasanya disajikan untuk kalangan elit, Umar segera mengembalikannya. Kepada utusan yang mengantarkannya Umar berpesan, “Kenyangkanlah lebih dulu rakyat dengan makanan yang biasa Anda makan.”

Sikap seperti itu tak hanya dimiliki Umar bin Khattab. Ketika mendengar dari Aisyah bahwa Madinah tengah dilanda kelaparan. Abdurrahman bin Auf yang baru pulang dari berniaga segera membagikan hartanya pada masyarakat yang sedang menderita. Semua hartanya dibagikan.

Ironisnya, sikap ini justru amat jauh dari para pejabat sekarang. Penderitaan demi penderitaan yang terus melanda bangsa ini, tak meyadarkan mereka. Naiknya harga kebutuhan pokok sebelum harga BBM naik dan meningkatnya jumlah orang-orang miskin, tak menggugah hati mereka. Bahkan, perilaku boros mereka kian marak.

Anggota Dewan yang ditunjuk rakyat sebagai wakil, justru banyak yang berleha-leha. Santai dan mencari aman. Pada saat yang sama, para pejabat yang juga dipilih langsung, tak pernah memikirkan rakyat. Yang ada dalam benak mereka , bagaimana bisa aman selama lima tahun ke depan.

Mereka yang dulu vocal mengkritik para pejabat korup dan zalim, justru kini diam. Ia takut kalau kursi yang saat ini didudukinya lepas. Sungguh jauh beda dengan Abu Dzar al-Ghifari, seorang sahabat Rasulullah saw. Ketika suatu saat dia cukup pedas mengkritik para pejabat di Madinah, Ustman bn Affan memindahkannya ke Syam agar tak muncul konflik. Namun, ditempat inipun ia melakukan kritik tajam pada Muawiyah bin Abu Sufyan agar menyantuni fakir miskin.

Muawiyah pernah mengujinya dengan mengirimkan uang. Namun ketika esok harinya uang itu ingin diambilnya kembali, ternyata Abu Dzar telah membagikannya pada fakir miskin.

Sesungguhnya, negeri kita ini tidak miskin. Negari kita kaya. Bahkan teramat kaya. Tapi karena tidak dikelola dengan baik, kita menjadi miskin. Negeri kita kaya, tapi karena kekayaan itu hanya berada pada orang-orang tertentu saja, rakyat menjadi miskin. Kekayaan dimonopoli oleh para pejabat, anggota parlemen dan para pengusaha tamak.

Di tengah suara rintihan para pengemis dan orang-orang terlantar, kita menyaksikan para pejabat dan orang-orang berduit dengan ayik melancong ke berbagai negari. Mereka seolah tanpa dosa menghambur-hamburkan uang dengan membeli barang serba mewah.

Ditengah gubuk-gubuk reot penuh tambalan kardus bekas, kita menyaksikan gedung-gedung menjulang langit. Diantara maraknya tengadah tangan-tangan pengemis, mobil-mobil mewah dengan santainya berseleweran. Pemandangan kontras yang selalu memenuhi hari-hari kita.

Dimasa Umar bin Abdul azis, umat islam pernah mengalami kejayaan. Kala itu sulit mencari mustahiq (penerima) zakat. Mereka merasa sudah mampu, bahkan harus mengeluarkan zakat. Mereka tidak terlalu kaya. Tapi, kekayaan dimasa itu tidak berkumpul pada orang-orang tertentu saja.

Disinilah peran zakat, infak dan shadaqah. Tak hanya untuk ‘membersihkan’ harta si kaya, tapi juga menuntaskan kemiskinan.

Jika ini tidak kita lakukan, kita belum menjadi mukmin sejati. Sebab, seorang Mukmin tentu takkan membiarkan tetanggana kelaparan. Rasulullah saw bersabda, “Tidak beriman seseorang yang dirinya kenyang, sementara tetangganya kelaparan.” (HR. Muslim)

HUKUM PACARAN DALAM PANDANGAN ISLAM

Ditengah tengah masyarakat kita saat ini muncul fenomena pacaran. pacaran biasa dilakukan pasangan muda mudi untuk menjalin kasih dan saling berkasih sayang antar keduanya. berprinsip dasar saling cinta, sepasang muda mudi bisanya saling menjajaki karakter masing masing dengan niat beragam. ada yang hanya untuk bersenang senang saja dan ada yang serius berniat untuk memilih calon pasangan untuk dinikahi.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah hukum berpacaran dalam syariat islam. karena dimasa kini pacaran adalah hal sudah umum dan lumrah dilakukan oleh seluruh remaja muslim di tanah air. tentu kita harus mengetahui hukum hukum dalam pacaran. pertanyaannya adalah apakah pacaran itu dibolehkan atau diharamkan, mengingat dalam proses pacaran, berdua-duaan, bersentuhan, berpelukan, berciuman dan lain sebagainya selalu mengiringi.





Hukum pacaran adalah mutlak Haram dan tidak ada perdebatan sama sekali, haramnya berpacaran layaknya haramnya khamer dan haramnya membunuh tanpa alasan yang dibenarkan. dengan begitu kita sesama muslim wajib saling mengingatkan, mengingat Masyarakat muslim sendiri, sudah mulai menganggap biasa proses pacaran dan para orang tua sudah membiarkan anak anak mereka untuk memadu kasih dengan stempel pacaran. tahukah anda bahwa apa yang anak anak anda lakukan saat berpacaran. tahukah anda sebagai orang tua bahwa kewajiban anda adalah mendidik anak anak anda dengan akhlak yang baik sesuai ajaran agama islam.

Hukum tentang larangan pacaran sudah sangat jelas ALLAH terangkan dalam Al-Qur'an serta dijelaskan pula oleh Nabi Muhammad SAW dalam berbagai hadistnya. berikut dibawah ini dalil, ayat dan hadits tentang hukum berpacaran sesuai syariat islam, simak dan renungkanlah . . .

Hukum Pacaran Dalam Islam :

Pacaran Adalah Perbuatan Mendekati Zina

“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista/keji dan sejelek-jelek jalan.” Al-Isra`: 32

Dari Ibnu Abbas r.a. dikatakan: "Tidak ada yang ku perhitungkan lebih menjelaskan tentang dosa-dosa kecil dari pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Allah telah menentukan bagi anak Adam bagiannya dari zina yang pasti dia lakukan. Zinanya mata adalah melihat (dengan syahwat), zinanya lidah adalah mengucapkan/berbicara (dengan syahwat), zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan (pemenuhan nafsu syahwat), maka farji (kemaluan) yang membenarkan atau mendustakannya." (HR. Al-Bukhari dan Imam Muslim)

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”An-Nur ayat 30

“Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu‘Abbas.R.A)

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ahmad)

Dari beberapa hadist Rasulullah diatas, sudah jelaslah dan dapat ditarik kesimpulan bahwa pacaran/hubungan antara laki laki dan perempuan yang bukan mahramnya merupakan perbuatan mendekati perzinahan. karena ALLAH SWT dan Rasulnya dengan jelas melarang kita berdua duaan dengan wanita yang bukan muhrimnya. mendekati zina/pacaran saja ALLAH sebut dengan perbuatan keji dan nista, bagaimana jika kita menyentuh dan akhirnya terjerumus dalam zina. semoga kita diberi hidayah oleh ALLAH SWT.

Hukum Berbicara Dengan Wanita

“Maka janganlah kalian (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berbicara dengan suara yang lembut, sehingga lelaki yang memiliki penyakit dalam kalbunya menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf (baik).” Al-Ahzab: 32

Seperti tertuang dalam ayat Al-Quran diatas, Allah SWT mengajarkan agar para wanita tidak berbicara kepada laki laki dengan suara yang dilembutkan atau dibuat lembut. jadi sebisa mungkin berbicaralah dengan suara biasa agar para lelaki tidak tergoda dan akhirnya timbul nafsu syahwat dalam diri mereka. pertanyaannya adalah apakah dalam pacaran sang wanita tidak bertutur kata lembut ?

Hukum Memandang Wanita
“Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan) kepada mereka (istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka mintalah dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu kalian dan kalbu mereka.” Al-Ahzab ayat 53

Dari Jarir bin Abdullah r.a. dikatakan: "Aku bertanya kepada Rasulallah SAW tentang memandang (lawan-jenis) yang (membangkitkan syahwat) tanpa disengaja. Lalu beliau memerintahkan aku mengalihkan (menundukan) pandanganku." (HR. Imam Muslim)

"Wahai Ali, janganlah engkau meneruskan pandangan haram (yang tidak sengaja) dengan pandangan yang lain. Karena pandangan yang pertama mubah untukmu. Namun yang kedua adalah haram." (HR. Abu Dawud, Ath-Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani)

"Pandangan itu adalah panah beracun dari panah-panah iblis. Maka barang siapa yang memalingkan (menundukan) pandangannya dari kecantikan seorang wanita, ikhlas karena Allah, maka Allah akan memberikan di hatinya kelezatan sampai pada hari Kiamat." (HR. Imam Ahmad)

Dari beberapa hadist Nabi diatas sudah sangat jelas bahwa memandang saja kita tidak diperbolehkan. memandang wanita yang bukan muhrim apat menimbulkan perasaan syahwat dan itu dilarang oleh ALLAH SWT karena termasuk perbuatan mendekati dan bisa mengantarkan kita kepada perzinahan. seperti yang kita ketahui bagaimana mungkin mereka yang berpacaran tidak saling memandang. bahkan memandang hanyalah proses pertama sebelum akhirnya menyentuh dan berujung pada perbuatan zina. semua kegiatan mulai dari melihat, memandang dan sterusnya dilarang dan sangat jelas diharamkan oleh ALLAH SWT. pertanyaannya adalah, apakah bisa anda berpacaran tanpa memandang ?

Hukum Menyentuh/Bersentuhan dengan Wanita

"Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (Hadist Hasan, Thabrani dalam Mu'jam Kabir 20/174/386)

"Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita." (HR. Malik, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Tidak. Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita (selain mahramnya), melainkan beliau membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” (HR. Muslim)

Jika Melihat wanita lain yang bukan mahramnya saja diharamkan, apalagi degan menyentuhnya. Nabi Muhammad SAW sebagai panutan seluruh umat telah mencontohkan bahwa sepanjang hidupnya ia tidak pernah bersentuhan dengan wanita kecuali mahramnya. meski kita tidak mungkin bisa mengikuti apa yang dilakukan Nabi secara sempurna, namun setidaknya kita wajib mengetahui bahwa menyentuh sebagaimana yang ada dalam proses pacaran tidak diperbolehkan dan sebisa mungkin menghidarinya. jikalau kita terjerumus, maka segeralah bertobat dan berusaha menahan hawa nafsu kita agar ALLAH SWT senantiasa meridhoi kita. pertanyaannya adalah mampukah anda untuk tidak menyentuh pacar anda ?

Himbauan Untuk Para Wanita Muslim

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. An-Nur ayat 31

Salah satu sebab yang menyebabkan pacaran menjadi budaya dan terjadi pada hampir seluruh anak anak kaum muslim adalah dikarenakan para wanita musim kita tidak menerapkan syariat islam dalam berbusana. para wanita zaman sekarang membuka aurat dan menunjukkan bagian tubuhnya sehingga membuat para lelaki tergoda. para wanita yang menggoda dan lelaki tergoda sama sama berdosa. sehingga dari terbukanya aurat wanita, ditambah dengan ahklak lelaki yang buruk, terjadilah proses pacaran yang disertai dengan melihat, memegang, bermesraan hingga hal hal lain yang dibenci oleh ALLAH SWT.

Godaan Wanita Merupakan Fitnah

“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah memesona), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di atasnya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah (godaan) wanita.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)

Rasulullah ditanya tentang hal Yang paling banyak menjerumuskan manusia ke-dalam neraka, beliau bersabda: "mulut dan kemaluan."(H.R. Turmudzi, ia berkata: "hadist ini shahih gharib").

Dan memang Rasulullah telah mengingatkan dalam hadistnya akan bahaya dan fitnah yang muncul dari wanita. sehingga jika para pria tidak berpegang teguh pada ajaran ALLAH dan Rasulnya. maka ia akan terjerumus dalam fitnah terbesar bagi ummat Nabi Muhammad, yaitu wanita.

Zina Termasuk Dosa Besar

“Seorang muslim yang bersyahadat tidak halal dibunuh, kecuali tiga jenis orang: ‘Pembunuh, orang yang sudah menikah lalu berzina, dan orang yang keluar dari Islam‘” (HR. Bukhari no. 6378, Muslim no. 1676)

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (Al-Maidah: 44)

Ibnu Mas'ud pernah bertanya tentang dosa-dosa besar kepada Rasulullah SAW :
Aku berkata: "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar disisi Allah?
Beliau bersabda: "engkau menjadikan bersama Allah sekutu yang lain, padahal Dia menciptakanmu".
Dia (Ibnu Mas'ud) berkata: "Kemudian apa?"
Beliau bersabda: "Engkau membunuh anakmu karena khawatir dia makan bersamamu."
Dia berkata: "kemudian apa?"
Beliau bersabda: "Engkau berzina dengan istri tetanggamu." (Mutafaqun ‘alaihi)

Dari hadits Rasulullah diatas bisa difahami bahwa zina termasuk dosa yang sangat besar disisi ALLAH SWT dan bukan masalah sepele. bahkan disejajarkan dengan seorang pembunuh dan orang yang telah keluar dari agama islam/murtad. jadi para remaja dan muda mudi zaman sekarang yang berpacaran ria dan lalu terjerumus dalam jurang perzinahan, mereka sebenarnya tanpa sadar telah melakukan perbuatan yang keji dan berdosa disisi ALLAH SWT.

Bersegeralah Menikah

Salah satu hal yang bisa mencegah kita dari godaan melakukan pacaran atau hubungan diluar nikah adalah dengan segera melangsungkan pernikahan jika dirasa telah mampu, siapa yang menunda nunda dan mempersulit perkawinan maka ditakutkan ia akan terjerumus dalam perzinahan. dengan menikah hubungan yang sebelumnya adalah dosa besar berubah menjadi ibadah, indah bukan? berikut dalil tentang menyegerakan untuk menikah.

عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ * (رواه مسلم
)
“Dari Ibnu Mas’ud ra berkata, Rasulullah saw mengatakan kepada kami: Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah sanggup melaksanakan akad nikah, hendaklah melaksanakannya. Maka sesungguhnya melakukan akad nikah itu (dapat) menjaga pandangan dan memlihar farj (kemaluan), dan barangsiapa yang belum sanggup hendaklah ia berpuasa (sunat), maka sesunguhnya puasa itu perisai baginya” (muttafaq alaih)



ADAB MENUNTUT ILMU MENURUT IMAM AL-GHAZALI



Ilmu mempunyai keutamaan yang tinggi dalam Islam. Banyak ayat Alquran dan sunah Rasul yang mengungkapkan hal tersebut. Bahkan, disampaikan bahwa orang-orang yang berilmu diangkat beberapa derajat oleh Allah Swt. jika dibandingkan orang-orang yang beriman tanpa ilmu.

“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. …” (Q.S. Al-Mujadilah [58]: 11)

Salah satu ulama besar umat muslim, Imam Al-Ghazali, dalam bukunya Ihya Ulumuddin menyampaikan adab menuntut ilmu bagi seorang pelajar. Ada tujuh poin penting tentang Adab Menuntut Ilmu Menurut Imam Al-Ghazali yang diringkas dari pendapat ulama ahli tasawuf ini.

Pertama, mendahulukan kebersihan jiwa dari akhlak yang rendah. Menurut Al-Ghazali, selama batin tidak bersih dari hal-hal keji, maka ia tidak menerima ilmu yang bermanfaat dalam agama. Selain itu, batin juga tak akan diterangi dengan cahaya ilmu. Ibnu Mas’ud berkata, “Bukanlah ilmu itu karena banyak meriwayatkan, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang dimasukkan ke dalam hati.”

Kedua, mengurangi kesenangan-kesenangan duniawi dan menjauh dari kampung halaman hingga hatinya terpusat untuk ilmu. Allah tidak menjadikan dua jantung bagi seseorang di dalam rongga badannya. Oleh karena itu dikatakan, “Ilmu itu tidak memberikan sebagiannya hingga engkau memberinya seluruh milikmu.”

Ketiga, tidak sombong dalam menuntut ilmu dan tidak membangkang kepada guru. Al-Ghazali menyarankan orang yang menuntut ilmu agar memberi kebebasan kepada guru yang mengajarnya selama tidak memperlakukannya dengan sewenang-wenang. Al-Ghazali juga menegaskan agar pelajar terus berkhidmat kepad guru. Menurutnya, ilmu enggan masuk kepada orang yang sombong seperti banjir yang tidak dapat mencapai tempat yang tinggi.

Keempat, menghindar dari mendengarkan perselisihan-perselisihan di antara sesama manusia. Menurut Al-Ghazali, hal tersebut dapat menimbulkan kebingungan saat menuntut ilmu.

Kelima, tidak menolak suatu bidang ilmu yang terpuji, tetapi harus menekuninya hingga mengetahui maksudnya. Jika umur membantunya, maka ia pun mesti menyempurnakannya.

Keenam, mengalihkan perhatian kepada ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat. Imam Al-Ghazali berpendapat, ilmu yang dimaksudkan adalah bagian dari muamalah dan mukasyafah. Ilmu mukasyafah tersebut ialah makrifatullah atau mengenal Allah. Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu yang paling mulia dan puncaknya adalah mengenai Allah.

Ketujuh, tujuan belajar adalah menghiasi batin dengan sifat yang menyampaikannya kepada Allah Swt. Selain itu, ia juga harus mengharapkan mendapatkan derajat tertinggi di antara malaikat muqarabin (yang dekat dengan Allah). Dengan tujuan ini, ia tidak mengharapkan kepemimpinan, harta, dan kedudukan.

HUKUM MENUNDA-NUNDA MEMBAYAR HUTANG



Terkadang di antara kita, ketika berhutang sering menunda – nunda untuk membayar nya. Atau ketika di tagih susah sekali untuk membayar. padahal membayar hutang suatu hal yang wajib bagi kita. Barangsiapa mampu membayar hutang maka diharamkan baginya menunda-nunda hutang yg wajib dia lunasi jika sudah jatuh tempo. Hal itu didasarkan pd apa yg diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda.

“Artinya : Penundaan pembayaran hutang oleh orang-orang yg mampu adl sesuatu kezhaliman. Dan jika salah seorang diantara kalian diikutkan (hutangnya dipindahkan) kpd orang yg mampu, maka hendaklah dia mengikutinya“

Oleh karena itu, barangsiapa memiliki hutang, maka hendaklah dia segera membayar hak orang-orang yg wajib dia tunaikan. Dan hendaklah dia bertakwa kpd Allah dalam hal tersebut sebelum maut menjemputnya dgn tiba-tiba, sementara dia masih tergantung pd hutangnya.

Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Ada seorang Yamani yg memiliki sebuah toko di dekat rumah saya. Dan saya biasa mengambil barang darinya dgn cara berhutang yg selalu saya lunasi kemudian. Tetapi, saya masih punya hutang padanya 40 riyal. Dan orang itu kemudian pindah & saya tdk mengetahui sama sekali alamatnya sekarang, & tdk juga mengenal kerabatnya, lalu apa yg harus saya perbuat dgn 40 riyal ini?

Kemudian beliau menjawab

Uang sejumlah 40 riyal itu masih menjadi hutang bagi anda. Sebenarnya, orang-orang Yaman sering bepergian ke Kerajaan Saudi Arabia & kembali lagi ke negeri mereka. Sehingga sangat terbuka kemungkinan utk dpt menjumpai pemiliki toko tersebut. Dan jika anda sudah berputus asa dari upaya menemuinya atau mengetahui tempat tinggalnya, maka anda boleh menyedekahkan uang tersebut atas nama dirinya. Kemudian jika tiba-tiba orang itu datang, maka beritahukan perihal yg sebenarnya kepadanya. Jika dia ridha dgn apa yg anda lakukan maka tdk ada masalah, & jika dia tdk ridha maka anda harus membayarkan uang tersebut. Dan pahala sedekah itu akan menjadi milik anda.

Keadaan orang yang meninggal Masih memiliki Hutang
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah ). Ibnu Majah juga membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.”

Itulah keadaan orang yang mati dalam keadaan masih membawa hutang dan belum juga dilunasi, maka untuk membayarnya akan diambil dari pahala kebaikannya. Itulah yang terjadi ketika hari kiamat karena di sana tidak ada lagi dinar dan dirham untuk melunasi hutang tersebut.

dalam riwayat yang lain Dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
Kami duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?”. Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolati jenazah tersebut.

Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Ada, sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau mensholati jenazah tersebut.

Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, “Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meningalkan sesuatu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata, “Shalatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung hutangnya.” Kemudian beliau pun menyolatinya.” (HR. Bukhari no. 2289)

Sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam membayar hutang. Ketika dia mampu, dia langsung melunasinya atau melunasi sebagiannya dulu jika dia tidak mampu melunasi seluruhnya. Sikap seperti inilah yang akan menimbulkan hubungan baik antara orang yang berhutang dan yang memberi hutangan.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Sesungguhnya yang paling di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” (HR. Bukhari no. 2393)

PERINTAH DAN HUKUM MEMAKAI JILBAB BAGI MUSLIMAH

Apakah sebagai wanita muslim wajib memakai jilbab dan Bagaimana hukum memakai jilbab? Mungkin pertanyaan itu yang muncul dalam benak wanita muslim. Apalagi dewasa ini banyak wanita kebanyakan tidak memakai jilbab. Berikut penjelasan Perintah dan Hukum memakai jilbab Bagi Wanita Muslim.

Apakah kita pernah mendengar dalam ceramah agama. Dalm ceramahnya ada yang mengatakan seorang wanita yang tidak memakai jilbab, jangankan masuk surga, bau surganya saja tidak diizinkan Allah.

Subhanaalah apakah sebagai wanita muslim tidak menyadari kalimat di atas ini adalah suatu ancaman bagi wanita muslim. Mari kita perhatikan sepenggal cerita dibawah ini



Hukum Memakai Jilbab


Salah seorang perempuan cerdik & shalihah Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Sungguh, musuh-musuh Islam telah mengetahui bahwa keluarnya kaum perempuan dgn mempertontonkan aurat adalah sebuah gerbang diantara gerbang-gerbang menuju kejelekan & kehancuran. Dan dgn hancurnya mereka maka hancurlah masyarakat. Oleh karena itulah mereka sangat bersemangat mengajak kaum perempuan supaya rela menanggalkan jilbab & rasa malunya…” (Nasihati li Nisaa’, hal. 91)

Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya persoalan tabarruj (mempertontonkan aurat) bukan masalah ringan karena hal itu tergolong perbuatan dosa besar.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 95)
Allah ta’ala berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian utk menutup auratmu & pakaian indah utk perhiasan. & pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raaf: 26)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang aurat, maka beliau bersabda, “Jagalah auratmu, kecuali dari (penglihatan) suamimu atau budak yang kau punya.” Kemudian beliau ditanya, “Bagaimana apabila seorang perempuan bersama dgn sesama kaum perempuan ?” Maka beliau menjawab, “Apabila engkau mampu utk tak menampakkan aurat kepada siapapun maka janganlah kau tampakkan kepada siapapun.” Lalu beliau ditanya, “Lalu bagaimana apabila salah seorang dari kami (kaum perempuan) sedang bersendirian ?” Maka beliau menjawab, “Engkau lebih harus merasa malu kepada Allah daripada kepada sesama manusia.” (HR. Abu Dawud [4017] & selainnya dgn sanad hasan, lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 381)

Perintah Berjilbab

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu & isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah utk dikenal, karena itu mereka tak di ganggu. & Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Ayat yang disebut dgn ayat hijab ini memuat perintah Allah kepada Nabi-Nya agar menyuruh kaum perempuan secara umum dgn mendahulukan istri & anak-anak perempuan beliau karena mereka menempati posisi yang lebih penting daripada perempuan yang lainnya, & juga karena sudah semestinya orang yang menyuruh orang lain utk mengerjakan suatu (kebaikan) mengawalinya dgn keluarganya sendiri sebelum menyuruh orang lain. Hal itu sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian & keluarga kalian dari api neraka.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 272)

Abu Malik berkata: “Ketahuilah wahai saudariku muslimah, bahwa para ulama telah sepakat wajibnya kaum perempuan menutup seluruh bagian tubuhnya, & sesungguhnya terjadinya perbedaan pendapat –yang teranggap- hanyalah dlm hal menutup wajah & dua telapak tangan.” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382)

Perintah Mengenakan Jilbab/Hijab Khusus utk Isteri Nabi?

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Ada segolongan orang yang mengatakan bahwa hijab (jilbab) adalah dikhususkan utk para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab Allah berfirman (yang artinya): “Wahai para isteri Nabi, kalian tidaklah seperti perempuan lain, jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian melembutkan suara karena akan membangkitkan syahwat orang yang di dlm hatinya tersimpan penyakit. Katakanlah perkataan yang baik-baik saja.” (QS. Al-Ahzab: 32) Maka jawabannya adalah: Sesungguhnya kaum perempuan dari umat ini diharuskan utk mengikuti isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam kecuali dlm perkara yang dikhususkan oleh dalil. Syaikh Asy-Syinqithi mengatakan di dlm Adhwa’ul Bayan (6/584) tatkala menjelaskan firman Allah: “Apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (isteri Nabi) maka mintalah dari balik hijab, yang demikian itu akan lebih membersihkan hati kalian & hati mereka…” (QS. Al-Ahzab: 53) Alasan hukum yang disebutkan Allah dlm menetapkan ketentuan ini yaitu mewajibkan penggunaan hijab karena hal itu lebih membersihkan hati kaum lelaki & perempuan dari godaan nafsu di dlm firman-Nya, “yang demikian itu lebih membersihkan hati mereka & hati kalian.” merupakan suatu indikasi yang sangat jelas yang menunjukkan maksud keumuman hukum. Dengan begitu tak akan ada seorangpun diantara seluruh umat Islam ini yang berani mengatakan bahwa selain isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam tak membutuhkan kebersihan hati kaum perempuan & kaum lelaki dari godaan nafsu dari lawan jenisnya…” “Beliau berkata: “Dengan keterangan yang sudah kami sebutkan ini maka anda mengetahui bahwa ayat yang mulia ini menjadi dalil yang sangat jelas yang menunjukkan bahwa wajibnya berhijab adalah hukum umum yang berlaku bagi seluruh kaum perempuan, tak khusus berlaku bagi para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam saja, meskipun lafal asalnya memang khusus utk mereka, karena keumuman sebab penetapan hukumnya menjadi dalil atas keumuman hukum yang terkandung di dalamnya. Dengan itu maka anda mengetahui bahwa ayat hijab itu berlaku umum karena keumuman sebabnya. Dan apabila hukum yang tersimpan dlm ayat ini bersifat umum dgn adanya indikasi ayat Al-Qur’an maka ketahuilah bahwa hijab itu wajib bagi seluruh perempuan berdasarkan penunjukan Al Qur’an.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 94-95)

Hakikat Jilbab

Di dlm kamus dijelaskan bahwa jilbab adalah gamis (baju kurung panjang, sejenis jubah) yaitu baju yang bisa menutup seluruh tubuh & juga mencakup kerudung serta kain yang melapisi di luar baju seperti halnya kain selimut/mantel (lihat Mu’jamul Wasith, juz 1, hal. 128, Al Munawwir, cet ke-14 hal.199)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Yang dimaksud jilbab adalah pakaian yang berada di luar lapisan baju yaitu berupa kain semacam selimut, kerudung, selendang & semacamnya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 272)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Jilbab adalah selendang yang dipakai di luar kerudung. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Mas’ud, Abu ‘Ubaidah (di dlm Maktabah Syamilah tertulis ‘Ubaidah, saya kira ini adalah kekeliruan, -pent), Qatadah, Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, Atha’ Al Khurasani & para ulama yang lain. Jilbab itu berfungsi sebagaimana pakaian yang biasa dikenakan pada masa kini (di masa beliau, pent). Sedangkan Al Jauhari berpendapat bahwa jilbab adalah kain sejenis selimut.” (Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah)

Syarat-Syarat Busana Muslimah

Para ulama mempersyaratkan busana muslimah berdasarkan penelitian dalil Al-Qur’an & As-Sunnah sebagai berikut:

Harus menutupi seluruh tubuh, hanya saja ada perbedaan pendapat dlm hal menutup wajah & kedua telapak tangan. Dalilnya adalah QS. An-Nuur : 31 serta QS. Al-Ahzab : 59. Sebagian ulama memfatwakan bahwa diperbolehkan membuka wajah & kedua telapak tangan, hanya saja menutupnya adalah sunnah & bukan sesuatu yang wajib.

Pakaian itu pada hakikatnya bukan dirancang sebagai perhiasan. Dalilnya adalah ayat yang artinya, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang bisa tampak.” (QS. An-Nuur : 31) Sebagian perempuan yang komitmen terhadap syari’at mengira bahwa semua jilbab selain warna hitam adalah perhiasan. Penilaian itu adalah salah karena di masa Nabi sebagian sahabiyah pernah memakai jilbab dgn warna selain hitam & beliau tak menyalahkan mereka. Yang dimaksud dgn pakaian perhiasan adalah yang memiliki berbagai macam corak warna atau terdapat unsur dari bahan emas, perak & semacamnya.

Meskipun begitu penulis Fiqhu Sunnah li Nisaa’ berpendapat bahwa mengenakan jilbab yang berwarna hitam itu memang lebih utama karena itu merupakan kebiasaan para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pakaian itu harus tebal, tak boleh tipis supaya tak menggambarkan apa yang ada di baliknya. Dalilnya adalah hadits yang menceritakan dua golongan penghuni neraka yang salah satunya adalah para perempuan yang berpakaian tapi telanjang (sebagiamana tercantum dlm Shahih Muslim) Maksud dari hadits itu adalah para perempuan yang mengenakan pakaian yang tipis sehingga justru dapat menggambarkan lekuk tubuh & tak menutupinya. Walaupun mereka masih disebut orang yang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka itu telanjang.

Harus longgar, tak boleh sempit atau ketat karena akan menampakkan bentuk atau sebagian dari bagian tubuhnya. Dalilnya adalah hadits Usamah bin Zaid yang menceritakan bahwa pada suatu saat beliau mendapat hadiah baju yang tebal dari Nabi. Kemudian dia memberikan baju tebal itu kepada isterinya. Namun karena baju itu agak sempit maka Nabi menyuruh Usamah agar isterinya mengenakan pelapis di luarnya (HR. Ahmad, memiliki penguat dlm riwayat Abu Dawud) Oleh sebab itu hendaknya para perempuan masa kini yang gemar memakai busana ketat segera bertaubat.

Tidak perlu diberi wangi-wangian. Dalilnya adalah sabda Nabi: “Perempuan manapun yang memakai wangi-wangian kemudian berjalan melewati sekelompok orang agar mereka mencium keharumannya maka dia adalah perempuan pezina.” (HR. An-Nasa’i, Abu Dawud & Tirmidzi dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari) Bahkan Al-Haitsami menyebutkan bahwa keluarnya perempuan dari rumahnya dgn memakai wangi-wangian & bersolek adalah tergolong dosa besar, meskipun dia diizinkan oleh suaminya.

Tidak boleh menyerupai pakaian kaum lelaki. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum laki-laki yang sengaja menyerupai kaum perempuan & kaum perempuan yang sengaja menyerupai kaum laki-laki.” (HR. Bukhari & lain-lain) Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat lelaki yang mengenakan pakaian perempuan & perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki.” (HR. Abu Dawud & Ahmad dgn sanad sahih)

Tidak boleh menyerupai pakaian khas perempuan kafir. Ketentuan ini berlaku juga bagi kaum lelaki. Dalilnya banyak sekali, diantaranya adalah kejadian yang menimpa Ali. Ketika itu Ali memakai dua lembar baju mu’ashfar. Melihat hal itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah pakaian kaum kafir. Jangan kau kenakan pakaian itu.” (HR. Muslim, Nasa’i & Ahmad)

Bukan pakaian yang menunjukkan ada maksud utk mencari popularitas. Yang dimaksud dgn libas syuhrah (pakaian popularitas) adalah: Segala jenis pakaian yang dipakai utk mencari ketenaran di hadapan orang-orang, baik pakaian itu sangat mahal harganya –untuk memamerkan kakayaannya- atau sangat murah harganya –untuk menampakkan kezuhudan dirinya- Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memakai busana popularitas di dunia maka Allah akan mengenakan busana kehinaan pada hari kiamat, kemudian dia dibakar api di dalamnya.” (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah dgn sanad hasan lighairihi) (syarat-syarat ini diringkas dgn sedikit perubahan dari Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382-391)

MARI BERDAKWAH DENGAN IKHLASH

KEWAJIBAN DAKWAH

1) مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرٍ فَاعِلِهِ (رواه مسلم)
“Barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang melaksanakannya”

2) مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ.( وراه صحيح مسلم)
Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah iman”



HUKUM BERDAKWAH

 اَنْفِذْ عَلَى رَسُلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ثُمَّ اُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ وَأَخْبِرْهُمْ بـِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ مِنْ حَقِّ اللهِ فِيْهِ فَوَاللهِ لِأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِداً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ ) (رواه البخارى
)
“Ajaklah mereka memeluk Islam dan beritahu mereka apa-apa yang diwajibkan atas mereka yang berupa hak Allah di dalamnya. Demi Allah, Allah memberi petunjuk kepada seseorang lantaran engkau, adalah lebih baik bagimu daripada engkau memiliki unta merah”

METODE DAKWAH RASULULLAH
 
1) أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال يا عائشة: إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ ماَ لاَ يُعْطِي عَلَى العُنْفِ وَماَ لاَ يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ. (رواه مسلم)
“Sesungguhnya Allah Maha lembut, mencintai kelembutan, dia memberikan kepada yang lembut apa yang tidak diberikan kepada yang kasar”
2) إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فيِ شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيءٍ إِلاَّ شَانَهُ (رواه مسلم)
“Sesungguhnya, tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali ia akan membaguskannya, dan tidaklah (kelembutan) itu tercabut dari sesuatu, kecuali akan memburukkannya”
3) مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقُ يُحْرَمُ الْخَيْرُ (رواه مسلم)
“Barang siapa yang tidak terdapat kelembutan padanya, maka tidak ada kebaikan padanya”
4) وقال النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم وهو يبعث الناس: (يَسُرُّوا وَلاَ تُعَسِّرُوْا، وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مَعَسِّرِيْنَ) (رواه مسلم)
“Hendaklah kalian bersikap memudahkan dan jangan menyulitkan. Hendaklah kalian menyampaikan kabar gembira dan jangan membuat mereka lari, karena sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan dan bukan untuk menyulitkan.”

MEDIA DAKWAH RASULULLAH

1) قَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ ( وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ (( لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ( (رواه أحمد)
“A’isyah berkata bahwa Akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an, (dan sesungguhnya engkau memiliki akhlak yang mulia), (Rasulullah telah menjadi contoh terbaik bagi kelian)”

2) نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ فَرُبَّ مَبْلَغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ (رواه الترمذى عن ابن مسعود)
”Allah mengelokkan wajah seseorang yang mendengar sesuatu dari kami lalau disampaikannya sebagaimana yang ia dengar. Sebab, banyak yang menyampaikan lebih menjadi lebih sadar daripada yang hanya mendengarkan”

RASULULLAH DAN KESABARAN DALAM BERDAKWAH
 
1. قال عمر رضي الله عنه: ” وَجَدْنَا خَيْرَ عِيْشَنَا بِالصَّبْرِ “( رواه البخاري)
“Dan kami merasakan bahwa sebaik-baiknya hidup ini dilalaui dengan kesabaran”

2. قال رسول الله ص م: الصَّبْرُ ضِيَاءٌ (رواه أحمد و مسلم)
“Sabar adalah cahaya”

3. قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنْ أَمَرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءٌ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءٌ صَبَرَ فَكاَنَ خَيْرًا لَهُ (رواه مسلم)
“Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin, semua urusannya itu baik bainya, dan itu tidak lain hanya bagi seorang mukmin. Apabila mendapat kesenangan dia bersyukur, dan itu baik baginya, dan apabila mendapat kesulitan dia bersabar dan itu baik baginya”

4. عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ (رواه الترمذى )
“Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya ujian, dan sesungguhnya apabila Allah SWT mencintai suatu kaum, Allah akan mengujinya.

DAKWAH BI AL-LISAN DAN BI AL-HAL

1. مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِي أُمَّةٍ قَبْليِ إِلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّوْنَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوْفٌ يَقُوْلُوْنَ ماَ لاَ يَفْعَلُوْنَ وَيَفْعَلُوْنَ ماَ لاَ يُؤْمَرُوْنَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذلِكَ مِنَ الإِيْمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلَ (رواه مسلم من باب الإيمان
).
“Tidaklah seorang nabi yang diutus Allah dari umat sebelumku, kecuali dari umatnya terdapat orang-orang hawariyun (para pembela dan pengikut) yang melaksanakan sunnahnya serta melaksanakan perintah-perintahnya. Kemudian, datang generasi setelah mereka; mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mereka mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Oleh karena itu, siapa yang berjihad terhadap mereka dengan tangannya, maka ia adalah orang mukmin, siapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya, maka ia adalah orang mukmin. Dan siapa yang berjihad melawan mereka dengan hatinya, maka ia adalah orang mukmin. sedangkan di bawah itu semua tidak ada keimanan meskipun hanya sebesar biji sawi (H. R. Muslim)”

LUBBU DAKWAH RASULULLAH

1) أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ (رواه البخارى
)
“Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Setelah mereka mematuhi itu, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka pelaksanaan lima kali shalat dalam sehari semala. Setelah mereka mematuhi itu, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat atas mereka yang diambil dari yang kaya untuk disalurkan kepada yang miskin di antara mereka”

DAKWAH PARA SAHABAT NABI
 
 كاَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُصَلِّي وَأَبُوْ بَكْرٍ يُصَلِّي بِصَلاَتِهِ وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ أَبِي بَكْرٍ. (رواه البخارى)

“Rasulullah saw sholat dengan duduk dan Abu Bakar berdiri mengikuti gerakan Rasulullah dan seganap kaum muslimin mengikuti gerakan Abu Bakar”

AYAT AYAT TENTANG DAKWAH
 
Kumpulan Ayat-Ayat Dakwah ;

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali Imran [3]: 104)

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Ali Imran [3]: 110)

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl [16]:125)

وَلَا يَصُدُّنَّكَ عَنْ آيَاتِ اللَّهِ بَعْدَ إِذْ أُنزِلَتْ إِلَيْكَ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-sekali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Q.S. Al-Qashash [28]: 87)

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Q.S. Al-Qashash [28]: 56)

قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (Q.S. Yusuf [12]: 108)

نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Tidak sepatutnya bagi mu’minin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Q.S. At-Taubah [9]: 122)

وَإِنَّكَ لَتَدْعُوهُمْ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar menyeru mereka kepada jalan yang lurus.” (Q.S. Al-Mu’minun [23]: 73)

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَـئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At-Taubah [9]: 71)

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِداً وَمُبَشِّراً وَنَذِيراً

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 45)

وَدَاعِياً إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجاً مُّنِيراً

“dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 46)

Selasa, 22 Maret 2016

MEMAHAMI KORELASI FILSAFAT ISLAM DENGAN FILSAFAT YUNANI



Awal Persentuhan Pemikiran Islam dan Barat (Yunani)

A.    Aspek Doktrin
 
Sebelum filsafat dikenal oleh kaum Muslim, mereka terlebih dahulu mengenal ilmu kalam. Ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan dan berbagai cabangnya, termasuk di dalamnya tentang kenabian dan hari akhir. Awal mula kemunculan ilmu kalam adalah perdebatan mengenai Al-qur’an itu qadim atau hadits, namun benihnya sudah ada sejak Nabi Muhammad wafat. Yaitu siapakah pengganti atau pemimpin setelah beliau wafat. Dan mulai terlihat dengan jelas ketika terjadinya perpecahan diantara umat Islam pada perang shiffin antara Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan.

Dalam perang shiffin terjadilah peristiwa tahkim yaitu pihak Muawiyah meminta damai dan kembali pada kitabullah sambil mengangkat mushaf Qur-an. Awalnya Sayidina Ali menolak, namun sebagian pengikutnya memaksa agar kembali pada kitabullah yang akhirnya beliau menyetujuinya. Pada saat itu Muawiyah meminta agar kepemimpinan umat dipilih oleh rakyat dan mengosongkan terlebih dahulu kepemimpinan yang sudah ada masing-masing pihak mengutus delegasinya. Pihak Sayidina Ali mengutus Abu Musa al-Al’asyari dan pihak Muawiyah mengutus Amr bin Ash. Dengan siasatnya yang cerdik, Amr bin Ash berhasil memenangkan kepemimpinan Muawiyah dan menurunkan Sayidina Ali.

Setelah peristiwa tersebut umat Islam terpecah menjadi tiga golongan yaitu pengikut setia Sayidina Ali yang kemudian dikenal dengan sebutan Syi’ah, golongan yang keluar dari barisan Sayidina Ali yang merasa kecewa dengan hasil keputusan yang didapat, padahal merekalah yang menyuruh beliau untuk menerima perdamaian dengan Muawiyah, mereka kemudian disebut kaum Khwarij. Dan golongan yang tidak berpihak pada keduanya dan menangguhkan penilaian (salah dan benar) terhadap keduanya, golongan ini dikenal dengan kaum Murjiah.

Golongan ini kemudian menjadi semacam madzhab yang mempunyai doktrinnya sendiri dengan mencari pebenaran Al-Quran dan Hadis.

Mereka pun kemudian terpecah-pecah lagi dan semuanya mengatakan bahwa apa yang mereka yakini adalah dari Qur’an dan hadits. Mereka menggunakan dalil naqli sekigus dalil aqli. Dan belakangan munculalah kaum Mu’tazilah dengan teologi rasionalnya yang banyak meminjam konsep-konsep Yunani dalam hal logika tanpa mengikatkan diri pada ajaran filsafat Yunani.

Kaum Mu’tazilah meletakan dasar kebebasan berpikir dan kebebasan berkehendak dalam teologinya. Mereka menggunakan alat yang bernama logika formal yang biasa digunakan oleh filsafat dalam mencari kebenarannya. Dan disinilah benih filsafat dalam Islam ditanamkan.

B. Aspek Sejarah 
 
Latar belakang kemunculan filsafat Islam adalah karena adanya penerjemahan buku-buku filsafat Yunani kedalam bahasa arab yang tersimpan di perpustakaan kuno daerah-daerah yang telah dikuasai oleh kaum muslim, seperti Alexandria, Antioch, Edessa, Harran dan Judinsapur. Kota-kota tersebut dulunya adalah pusat ilmu pengetahuan.

Pada masa berakhirnya Bani Umayah dan permulaan Bani Abbasiyyah penerjemahan buku-buku yang berbahasa Yunani ataupun Suryani diterjemahkan dengan bantuan orang-orang terpelajar dari berbagai pusat tersebut. Penerjemahan tersebut memakan waktu sekitar 150 hingga 200 tahun. Pada masa berikutnya bahasa arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan selama 700 tahun.

Penerjemahan di masa Harun Ar-Rasyid (786-809) di fokuskan pada karya-karya Aristoteles dan karya-karya bangsa Persia. Kemudian dilanjutkan oleh Al-Makmun yang dikenal sangat tertarik dengan kebebasan berfikir yang berkuasa 813-833 M. beliau mengadakan hubungan kenegaraan dengan raja-raja Romawi, Bizantium yang berpusat di Konstantinopel.

Dengan adanya berbagai macam interaksi dengan dunia luar dan penerjemahan buku inilah yang mengakibatkan kemunculan filsafat di dunia Islam. Metode-metode filsafat mulai digunakan dalam menafsirkan ajaran Islam yang bersumber dari Quran dan Hadis. Seperti yang dilakukan Al-Kindiyang dikenal sebagai bapak Filsuf Islam atau arab yang menafsirkan Qur’an secara rasional bahkan dengan cara filosofis.

Pada awal kemunculannya corak filsafat Islam kebanyakan beraliran paripatetik yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani khususnya Aristoteles. Walau demikian bukan berarti filosof muslim hanya mengekor pada pemikiran Yunani, melainkan melakukan kritik dan menambahkah permasalahan-permasalahan baru yang harus diselesaikan. Permasalahan-permasalahan ini sebelumnya tidak ada pada masa Yunani. Selain paripatetik ada juga aliran Iluminisionis dan Hikmah Muta’aliyah yang merupakan ciri khas pemikiran/filsafat Islam.

Itulah sejarah singkat tentang lahirnya filsafat Islam, yang memunculkan banyak tokoh filsafat di dunia Islam seperti, Al-Kindi, ibnu Sina, Ar-Razi, Al-Farabi, Suhrawardi, At-Thusi, Ibnu Rusyd, Ibnu Bajah, Ikhwanus Shafa, Mulia Shadra dll. Yang masing-masing mempunyai pemikirannya sendiri-sendri.

C.   Kontak Pertama Kaum Muslimin dengan Filsafat Yunani 

  • 1. Penaklukan Alexander dan Perkembangan Pemikiran Yunani di Timur Tengah
Perkembangan pemikiran Yunani di kawasan Timur Tengah tidak dapat dilepaskan dari penaklukkan yang dilakukan Alexander yang Agung terhadap kawasan tersebut. Ia dapat menguasai Arbela, sebelah Timur Tigris pada tahun 331 yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Darius. Kedatangannya ke daerah tersebut tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, tetapi sebaliknya ia berusaha menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Dari segi kultural, ia sendiri berusaha mengenakan pakaian secara Persia, dan orang-orang Persia sendiri banyak pula yang diangkat menjadi pengawal-pengawalnya. Ia kawin dengan Statira, anak Darius.

Setelah Alexander meninggal, perkembangan selanjutnya terdiri dari Kerajaan Ptolemeus di mesir, dengan Alexandria sebagai ibukotanya dan kerajaan Seleucid (Seleucus) di Asia dengan kota-kota pentingnya seperti Antioch di Siria, Seleucia di Mesopotamia dan Bactra di Persia sebelah Timur. Ptolemus dan Seleucus berusaha meneruskan politik Alexander untuk menyatukan kedua peradaban Yunani dan Iran.

Sungguhpun usaha itu tidak berhasil, namun kebudayaan dan peradaban Yunani meninggalkan bekas di daerah-daerah ini. Bahasa administrasi yang dipakai disana ialah bahasa Yunani. Di Mesir dan Siria bahasa ini tetap dipakai sesudah masuknya Islam ke dalam kedua daerah itu, dan baru ditukar dengan bahasa Arab pada abad VII Masehi oleh Khalifah Bani Umayyah A. Malik Ibn Marwan (685-705). Alexandria, Antioch dan Bactra kemudian menjadi pusat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Pada Abad III Masehi pusat-pusat kebudayaan Yunani ini ditambah dengan kota Jundishapur yang letaknya tidak jauh dari Baghdad (didirikan di tahun 762 M). Di sana sewaktu kota itu masuk ke dalam wilayah kekuasan Islam, telah terdapat suatu akademi dan rumah sakit.

Alexandria merupakan kota yang berfungsi sebagai salah satu pusat kegiatan intelektual yang penting dijaman akhir filsafat Yunani Kuno. Menurut keterangan yang diberikan oleh De Lacy O’leary, bahwa di kota ini terdapat bangunan musium yang dilengkapi dengan perpustakaan yang kemudian ia berkembang di zaman Philadelphia (285-247 SM) menjadi perpustakaan terbesar di dunia dalam bidang pemikiran Yunani.

Dari uraian singkat tersebut dapat disimpulkan bahwa penaklukkan Alexander yang Agung di kawasan Timur Tengah ternyata membawa pengaruh terhadap perkembangan pemikiran Yunani di daerah yang ditaklukkannya itu. Perkembangan pemikiran Yunani tersebut terlihat dari munculnya  berbagai pusat atau lembaga pengkajian filsafat Yunani. Semua kota yang menjadi tempat perkembangan pemikiran Yunani ini kemudian dikuasai oleh Islam.

  • 2. Peranan Khalifah Abbasiyah dalam Masuknya Pemikiran Yunani ke Dunia Islam
Ketika Khalifah Bani Abbas Al Mansur sakit di tahun 765 M, dinasehati oleh menterinya Khalid Ibn Barmak (Seorang Persia), kepala rumah sakit Jundishapur agar memanggil Girgis Ibn Bukhtyishu untuk mengobatinya. Khalid Ibn Barmak sendiri adalah berasal dari Bactra, dan dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan serta filsafat, dan condong pada paham Mu’tazilah.

Selanjutnya Harun Al Rasyid menjadi Khalifah Abbasiyah pada tahun 786 M. Sebelumnya ia pernah belajar di Persia di bawah asuhan Yahya Ibn Khalid Ibn Barmak. Dengan demikian ia banyak dipengaruhi oleh kegemaran keluarga Barmak pada ilmu pengetahuan dan  filsafat. Pada zaman pemerintahan Harun Al Rasyid inilah penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab mulai dilakukan.

Peranan penerjemahan dalam memasukkan pemikiran Yunani ke dalam Islam itu telah banyak disebut oleh para ahli sejarah. De Lacy O’eary misalnya, mengatakan bahwa orang-orang Islam menguasai filsafat Yunani adalah melalui kegiatan penerjemahan dan pensyarahan bahasa Yunani, dan kegiatan ini banyak mendapat bantuan dari orang-orang Suryani. Sumber lain menyebutkan bahwa sebagian besar karya ilmu-ilmu populer ditemui oleh orang Islam melalui dorongan dari orang-orang Kristen Nestoria, khususnya para penerjemah dari Siria. Melalui saluran ini sebagian besar ilmu pengetahuan Yunani seperti ilmu pengetahuan kealaman, matematika astronomi, geografi dan kedokteran, dapat dijumpai orang-orang Islam. Khususnya dalam bidang kedokteran, sumbangan yang besar diberikan oleh Akademi Jundishapur yang dipimpin oleh dokter-dokter Yahudi dan Kristen.

Melalui kegiatan penerjemahan itu para cendikiawan Muslim dapat menguasai berbagai disiplin ilmu pengeteahuan dan filsafat, dan mereka berusaha menambahkan kedalamnya hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam lapangan filsafat. Dengan demikian tidaklah tepat pendapat sebagian penelitian Barat yang cenderung memperkecil peranan kaum Muslimin, dimana mereka menganggap bahwa kaum Muslimin hanyalah sebagai penyalin, penerjemah, atau paling tidak sebagai penyarah dan komentator.

Anggapan ini dibantah oleh George Sarton yang pendapatnya dikutip oleh Dr. Effat al-Sharqawi. Beliau mengatakan bahwa pendapat demikian adalah keliru. Tidak ada kretifitas yang lebih besar dari kehausan yang mendominasi perasaan tokoh-tokoh pemikir Muslim akan ilmu pengetahun. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kaum muslimin setelah mengenal Khazanah Yunani segera berusaha mengkaji, memberi komentar dan menjelaskannya. Mereka mengemukakan analis kritik dan polesan Islami terhadap pemikiran Yunani itu.

Perlu juga dikemukakan di sini bahwa keadaan perkembangan filsafat Yunani, ketika dijumpai oleh kaum Muslimin tengah dalam keadaan mundur , bahkan hampir hancur, karena ditekan dan diabaikan oleh para penguasa saat itu. Khazanah ilmu pengetahuan Yunani menemukan penyelamatannya yang mampu membangkitkan kembali pokok-pokoknya yang lama dan mengungkapkan subtansi-subtansinya dengan uraian yang orisinil pada orang Islam, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd. Selain itu, kaum Muslimin juga berusaha mengkompromikan antara filsafat dan agama dengan cara yang adil, seimbang dan rasional. Lebih jauh lagi seringkali sumbangan sumbangan kaum Muslimin itu lebih mendalam dan lebih tinggi peringkatnya daripada sumbangan yang diberikan oleh kaum Iskandariah dan lainnya dari filosof Hellennistik.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa khalifah Abbasiyah adalah awal mula diterjemahkannya naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab. Sehingga lahirlah sejumlah Filosof Muslim terkemuka dikalangan umat Islam. Kemudian ilmu filsafat dari para Filosof Muslim inilah yang dikenal dengan Filsafat Islam.
      
a. Mengkritisi Klaim Bahwa Islam Pada Dasarnya Copy Paste Filsafat Yunani   
 
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu itu terjadi perubahan paradigma manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Paradigma mitosentris adalah pola pikir masyarakat berdasarkan mitos untuk menjelaskan gejala fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi.

Ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktifitas dewa, tetapi aktifitas alam yang terjadi secara kausalitas. Perubahan paradigma tersebut kelihatannya sederhana, namun implikasinya tidak sederhana karena selama ini alam ditakuti dan dijauhi kemudian didekati bahkan dieksploitasi. Manusia yang dulunya pasif dalam menghadapi fenomena alam menjadi lebih proaktif dan kreatif, sehingga alam dijadikan obyek penelitian dan pengkajian. Dari proses inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat, yang akhirnya kita nikmati dalam bentuk teknologi. Karena itu, periode perkembangan filsafat Yunani merupakan entri point untuk memasuki peradaban baru umat manusia
Pada makalah ini, penulis tidak akan membahas Filsafat Yunani secara spesifik, namun penulis mencoba memaparkan tentang histografi filsafat Yunani ke dalam Islam, Integrasi Filsafat dan Islam dan bagaimana Hubungan keduanya. Makalah ini mencoba memberikan gambaran Filsafat Islam serta tokoh-tokoh filsafat Islam.

- Histografi Filsafat Yunani kedalam Islam

Masyarakat Islam dilihat dari sisi latar belakang etnis, bahasa, adat dan pola kebudayaan, menampilkan keberagaman sosok yang disatukan dalam satu ikatan visi keagamaan, yaitu Islam. Islam dengan keragamannya merupakan hasil interaksi sosial, politik,dan budaya masyarakat Islam Arab dengan masyarakat-masyarakat lainnya. Islam banyak mengalami inovasi-inovasi dengan corak social, politik budaya Arab, Persia, dan Yunani ( Hellenisme), China dan Barat. Semuanya itu merupakan bagian penting dalam pembentukan peradaban Islam.

Dari segi Historis, interaksi Islam dengan peradaban dunia sangat diwarnai oleh ekspansi atau penaklukan terhadap daerah kekuasaan lain. Motif-motif penaklukan yang dilakukan kaum muslimin sejak kepemimpinan Nabi Muhammad SAW adalah Jihad untuk melawan orang – orang kafir yang menz}alimi kaum muslimin. Pada awal petumbuhannya, Islam dapat mengambil simpati masyarakat Arab karena semangatnya yang menegakkan keadilan. Islam bukan disebarkan dengan kekerasan atau pedang. Dalam sejarah dibuktikan, dalam ekspansi tesebut kaum muslimin tidak melakukan pemaksaan dalam hal agama.

Setelah Rasulullah SAW wafat 632 M,berturut-turut umat Islam dipimpin al-Khulafa’ al- Rashidun, Bani Umaiyyah dan Bani Abbasiyah. Dibawah kepemimpinan Abu Bakar, Islam telah melakukan penaklukan –penaklukan dibeberapa daerah kekuasaan Byzantium dan Persia. Di akhir pemerintahan ‘Umar bin Khattab Pada tahun 644 M ( Hodgson,2002:24), kekuasaan Islam meliputi Asia Barat, seluruh Irak, Suriah sampai Mesir Selatan dan sebagian pantai Afrika Utara ke arah Cyrenaica. Dan pada waktu kekhilafahan ‘Uthman bin ‘Affan arah peta Islam meluas ke Cyprus. Dalam perjalanan berikutnya, kekuasaan khalifah ‘Uthman sudah mencapai sepanjang pantai Afrika Utara sampai Tripoli. Ke arah utara dari Irak mereka menaklukkan sebagian besar Armenia dan menerobos daerah Kaukus, menempatkan Garnizun di Tiflis. Di Timur mereka telah mencapai sungai Trans-Oxiana, mereka mnguasai Heart, Afganistan, melewati Mekran, Persia Tenggara dan perbatasan Asia Selatan.

Sampai akhir pemerintahan Khulafa’ al-Rashidin Islam hampir separuh dari wilayah kekaisaran Romawi dan Persia telah ditaklukkan. Pada masa pemerintahan bani Umayyah banyak dilakukan ekspansi ke berbagai wilayah. Utamanya ekspansi ke arah utara yaitu ke Syiria dan Mesir, yang nota bene merupakan kota-kota peninggalan peradaban Yunani.Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah,ekspansi-ekspansi Islam dilakukan ke berbagai daerah yaitu dua imperium besar Byzantium dan Sasania, menyebabkan terjadinya intereksi dan dinamisasi bahasa, tradisi budaya, yang cepat atau lambat tak terelakkan.Dialektika dan dinamisasi tersebut berimbas kepada praktis keberagaman,pemerintahan dan pengembangan keilmuan.

Bersamaan dengan itu,juga dilakukan penerjemahan terhadap ilmu pengetahuan ilmiah dan tehnik, diantara gagasan kedokteran , matematika, astronomi, dan filsafat Hellenistik.Disamping itu juga dilakukan penerjemahan terhadap pengetahuan praksis tentang tehnik pemerintahan, manajemen pertanian dan irigasi kedalam bahasa Arab. Karena didalam pemerintahan Abbasiyah banyak menempatkan kaum mawali khusus orang-orang Persia pada jabatan-jabatan strategis, bahkan banyak tradisi-tradisi dalam pemerintahan dan keilmuan yang ditransfer dari tradisi sistem pemerintahan Persia.

Pada masa kekhilafahan ‘Abbasiyah, cakupan keilmuan saat itu berkembang dengan pesat tidak hanya terbatas tidak hanya terbatas pada masalah teologi dan keagamaan,tapi juga berkisar pada filsafat, matematika, kedokteran dan lain sebagainya.Lengkapnya ,ciri keilmuan yang muncul saat itu antara lain,teologi dan keagamaan,sastra,sejarah,geografi,sufisme,kedokteran, matematika, astronomi, filsafat dan lainnya.

Hal tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya beberapa tokoh kenamaan. Misalnya di bidang teologi, al-Ash’ari (935) dan al-Maturidi (w.944). Di bidang sastra al-Jahiz (w.780) dan Ibnu Qutaibah (w.828). Dibidang sejarah dan geografi al-Baladhuri (w.820) dan al-Ya’qub (w.897). Di bidang sufisme, al- Muhasibi (w.857) dan Yazid al-Bust{ami (w.875) dan al-Hallaj (w.922). Di bidang kedokteran al-Razi (w.923) dan Ibnu Sina ( w.1037). Di bidang matematika dan astronomi, al-Khawrizmi (w.846) dan Ibnu Haitham ( w.1039) dan di bidang Filsafat al-Kindi ( w.881), al-Farabi ( w.870) dan Ibnu Sina (w.980).

- Hubungan Islam – Yunani

Sebenarnya interaksi Islam dengan peradaban Yunani, sebagaimana dijelaskan diatas, telah terjadi sejak masa al-Khulafa’ al-Rashidun. Namun interaksi tersebut semakin kuat dan tampak jelas wujudnya pada masa pemerintahan ‘Abbasiyah dan memberikan pengaruh yang tidak sedikit pada masa-masa setelahnya.

Penaklukkan Iskandariyah, termasuk Syiria dan Persia yang merupakan sentra Hellenisme, membawa Islam untuk bersentuhan dengan peradaban Yunani dan peradaban Timur Tengah lainnya seperti mistis Mesir, Phoenisia, Persia, Yahudi dan Kristen. Persentuhan Islam dengan tradisi Hellenistik ini pada akhirnya mempengaruhi cara dan gaya berfikir kaum muslimin. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap penyerapan tradisi hellenistik adalah booming terjemahan. Penerjemahan karya-karya berbahasa Suryani dan Yunani ke dalam bahasa Arab terjadi pada abad ke 8 Masehi. Terjemahan karya filsafat pertama dilakukan oleh sastrawan terkemuka saat itu, Abdullah Ibnu al-Muqaffa dan putranya Muhammad, yang mencakup Categories, Hermeneutica, dan Analytica Apriora karya Aristoteles pada masa Khalifah al- Mans{ur ( 754-773 M). Lalu ada Yahya bin al-Bitriq yang menerjemaahkan karya Plato yang berjudul Temaeus. Juga karya Aristoteles seperti; De Anima, Book of Animals, dan Secret of the secret.

Khalifah al-Makmun , mendirikan Bait al-Hikmah sebagai pusat perpustakaan dan terjemahan, sehingga lembaga ini tercata sebagai institute terbesar sepanjang sejarah penerjemahan karya-karya filsafat dan kedokteran Yunani. Dari beberapa buku yang diterjemahkan pada masa awal kedalam bahasa Arab, jelas terlihat didominasi oleh karya Aristoteles khususnya masalah logika. Hal ini disebabkan logika Aristoteles ( al-Mantiq al-Arist}o) dirasa cocok dan memang diperlukan kaum muslimin pada saat itu sebagai alat argumentasi.

Pasca penerjemahan ilmu-ilmu Yunani ke Arab, maka filsafat Yunani tidak asing lago dikalangan akademisi muslim. Para teolog muslim mengambil sebagian tradisi filsafat Yunani, yaitu filsafat ketuhanan dan logika Aristoteles sebagai dasar argumen teologi dan alat berdebat. Kemudian para filosof muslim murni seperti al-Kindi,al-Razi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail dan Ibnu Rushd, mengambil hampir semua tradisi Yunani yang dimodifikasi dengan ajaran islam.

- Hubungan Filsafat Islam Dengan Filsafat Yunani

Dilihat dari aspek sejarah, kelahiran ilmu Filsafat Islam dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Islam. Usaha ini melahirkan sejumlah filosof besar muslim. Dunia Islam belahan timur yang berpusat di Bagdad, Irak lebih dahulu melahirkan filosof muslim daripada dunia Islam belahan barat yang berpusat di Cordoba, Spanyol.
Memperkuat pernyataan diatas, Ahmad Salabi dan Louis Ma’luf menguraikan bahwa sejarah kebudayaan Islam mencatat, ilmu filsafat tidak diketahui oleh orang-orang Islam, kecuali setelah masa Daulah Abbasiyah pertama (132-232 H / 750-847 M). Ilmu ini ditransfer ke dunia Islam melalui penerjemahan dari buku-buku Filsafat Yunani yang telah tersebar di daerah-daerah Laut Putih seperti Iskandariah, Anthakian, dan Harran. Terlebih pada masa Al-Makmun yang dikenal sangat tertarik pada kemerdekaan berpikir, yang berkuasa antara 198-218 H / 813-833 M dan mengadakan hubungan kenegaraan dengan raja-raja Romawi, Bezantium yang beribu kota di Konstantinopel, yang juga dikenal dengan sebagai kota “Al-Hikmah”, pusat ilmu Filsafat. Dari kota ini, buku-buku filsafat diperoleh dan diterjemahkan sekalipun dari bahasa Suryani. Kegiatan penerjemahan ini disertai pula dengan uraian dan penjelasan seperlunya. Para cendikiawan ketika itu berusaha memasukkan Filsafat Yunani sebagai bagian dari metodologi dalam menjelaskan Islam, terutama akidah untuk melihat perlunya persesuaian antara wahyu dan akal.

Tentu saja, aktifitas para filosof di atas bersentuhan dengan penafsiran Al-Qur’an. Bahkan, kecenderungan menafsirkan Al-Qur’an secara filosofis besar sekali. Al-Kindi Misalnya, yang dikenal sebagai Bapak Filosof Arab dan Muslim, berpendapat bahwa untuk memahami Al-Qur’an dengan benar, isinya harus ditafsirkan secara rasional, bahkan filosofis. Al-Kindi berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang mengajak manusia untuk merenungkan peristiwa-peristiwa alam dan menyingkapkan makna yang lebih dalam di balik terbit-tenggelamnya matahari, berkembang-menyusutnya bulan, pasang-surutnya air laut dan seterusnya. Ajakan ini merupakan seruan untuk berfilsafat. Seperti halnya Al Kindi, Ibn Rusyd pun berpendapat demikian. Lebih jauh, Ibn Rusyd menyatakan bahwa tujuan dasar filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat benar. Dalam hal ini filsafat sesuai dengan agama, sebab tujuan agama pun tidak lain adalah menjamin pengetahuan yang benar bagi umat manusia dan menunjukkan jalan yang benar bagi kehidupan yang praktis.

Itulah sebabnya, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa sumber dan pangkal tolak filsafat dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun mempunyai dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri, filsafat banyak mengandung unsur-unsur dari luar, terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani.

Uraian di atas terlihat jelas bahwa di satu sisi, filsafat Islam berkembang setelah umat Islam memiliki hubungan interaksi dengan dunia Yunani, seperti yang telah disebutkan oleh Nurcholis Madjid, yang menyatakan bahwa pemakaian kata “filsafat” di dunia Islam digunakan untuk menerjemahkan kata “hikmah” yang ada dalam teks-teks keagamaan Islam, seperti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Nurcholis Madjid bahwa orang-orang Islam berkenalan dengan ajaran Aristoteles dalam bentuknya yang telah ditafsirkan dan diolah oleh orang-orang Syria, dan itu berarti masuknya unsur-unsur Neoplatonisme. Cukup menarik bahwa sebagian orang Islam begitu sadar tentang Aristoteles dan apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajarannya, namun mereka tidak sadar atau sedikit sekali mengetahui adanya unsur-unsur Neoplatonis di dalamnya. Ini menyebabkan sulitnya membedakan antara kedua unsur Hellenisme yang paling berpengaruh terhadap falsafah Islam itu karena memang terkait satu sama lainnya.

Sekalipun begitu, masih dapat dibenarkan melihat adanya pengaruh khas Neoplatonisme dalam dunia pemikiran Islam, seperti yang kelak muncul dengan jelas dalam berbagai paham tasawuf. Ibnu Sina misalnya, dapat dikatakan sebagai seorang Neo-platonis disebabkan ajarannya tentang mistik perjalanan rohani manuju Tuhan seperti yang dumuat dalam kitabnya, Isharat. Memang Neoplatonisme yang spiritualistik itu banyak mendapatkan jalan masuk ke dalam ajaran-ajaran Sufi, dan yang paling banyak menonjol adalah yang ada dalam ajaran sekelompok orang muslim yang menamakan diri mereka Ikhwan Ash-Shafa.
Demikian pula kita sepenuhnya dapat berbicara tentang pengaruh besar Aristoteles, yaitu dari sudut kenyataan bahwa kaum Muslim banyak memanfaatkan metode berfikir logis menurut logika formal (silogisme) Aristoteles ini, yaitu yang lebih dikenal dengan ilmu mantiq dikalangan umat Islam.

Akan tetapi mustahil melihat filsafat Islam sebagai carbon copy Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat variasi, semua pemikir Muslim berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dan karena itu mereka juga membangun berbagai teori tentang kenabian seperti yang dilakukan Ibnu Sina dengan risalahnya yang terkenal, Itsbat An-Nubuwwat. Mereka juga mencurahkan banyak tenaga untuk membahas kehidupan sesudah mati, suatu hal yang tidak terdapat padanya dalam Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada kaum Hellenis Kristen. Para Filosof Muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggung jawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinisme), asal usul penciptaan, dan seterusnya yang semua itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme.

Dengan demikian, tampak jelas adanya hubungan yang bersifat akomodatif bahwa filsafat Yunani memberi modal dasar dalam penelusuran berfikir yang ditopang sejatinya oleh Al-Qur’an sejak dulu. Secara teologis, dapat dikatakan bahwa sumber Al-Qur’an secara Azali telah ada, maka filsafat Yunani hanya sebagai pembuka, sementara bahan-bahannya sudah ada di dalam Al-Qur’an sebagai desain besar Allah Swt. Akan tetapi, persoalan yang muncul adalah Orisinilitas filsafat Islam, apakah ia mengekor atau pelopor.

Tidak adanya orisinilitas yang mengesankan pada pemikiran kefilsafatan Islam klasik tidak perlu mengherankan. Sebab para filosof klasik Islam, betapapun pengembaraan intelektualnya adalah orang-orang yang relegius. Mungkin tafsiran mereka atas beberapa noktah ajaran agama tidak dapat diterima oleh para ulama ortodoks, namun berbeda dengan rekan-rekan mereka di Eropa pada masa-masa Skolastik, Renaisans, dan modern, yang umumnya justru menolak atau meragukan agama. Para filosof muslim klasik ini berfilsafat tetap karena dorongan keagamaan, malahan seringkali justru untuk membela dan melindungi keimanan agama. Karena relegiusitas mereka, pemikiran spekulatif kefilsafatan terjadi hanya dalam batas-batas yang masih dibenarkan oleh agama, yang agama itu sendiri bagi mereka telah cukup rasional sebagaimana dituntut oleh filsafat.

Pernyataan-pernyataan di atas dikuatkan pula oleh Abdul Mun’im bahwa Islam adalah agama yang memberikan kebebasan dalam membicarakan filsafat, berbeda halnya dengan Kristen. Dengan demikian orang Arablah yang memberikan keutamaan dalam menyebarkan filsafat Yunani dan menyiarkannya ke penjuru dunia. Lebih terbuka lagi, dinyatakan oleh O’Leray, “Sekarang, kita mengikuti jalannya filsafat Hellenis. Dari Yunani ia mengalir ke dalam pengetahuan Syria Lama. Kemudian, ia berjalan dari orang-orang Syria ke dalam dunia kaum muslimin yang berbahasa Arab. Orang-orang Arab kemudian memasukkannya kembali, jauh ke tengah-tengah dunia Barat”.

Sampai disini, dapat dinyatakan bahwa hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani adalah sebagai pengembang dan penerus sekaligus pelopor filsafat yang bercorak Islam yang disebarkan ke berbagai dunia Barat.   

Suatu kebenaran yang tidak dapat ditolak adalah pengaruh peradaban Yunani, Persia dan India. Diantara ilmu-ilmu India yang besar pengaruhnya kepada intelektual Islam adalah ilmu hitung, astronomi, ilmu kedokteran dan matematika dengan angka-angka yang oleh orang Arab disebut dengan angka India dan oleh orang Eropa dikenal dengan angka Arab. Sedangkan dari Persia terdapat ilmu bumi, astronomi, logika filsafat, ilmu ukur, kedokteran, seni dan sastra.

Pemasukan pengaruh Persia, yang dinilai lebih besar daripada pengaruh India, ke dalam Islam melalui Baghdad, berada di lingkungan Persia sebagai ganti ibu kota sebelumnya, Damshik. Menurut Harun Nasution peranan yang besar dalam hal ini ialah kelurga Barmak yang turun temurun menjadi menteri, gubernur, dan sekretaris khalifah mulai dari zaman al-Saffah (750-754) sampai dengan al-Makmun (813-833).

Akan tetapi, pengaruh terbesar yang diterima umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat, menurut Ahmad Amin, adalah dari Yunani. Karena kontak umat Islam dengan peradaban Yunani bersamaan waktunya dengan penulisan ilmu-ilmu Islam. Logika Yunani mempunyai pengaruh besar pada alam pemikiran saat itu.

Perlu ditegaskan bahwa pengaruh bukan berarti plagiat. Betapa banyak para filosof baik Islam maupun non Islam terpengaruh oleh pemikiran filosof sebelumnya, namun mereka tidak menyandang predikat plagiator atau penjiplak. Filosof Amsterdam, Belanda, Burch De Spinoza (1632-1677) dikenal sebagai pengikut Bapak Filsafat modern asal Prancis, Rene Descartes ( 1596- 1650). Demikian pula filosof Muslim Ibnu Sina walaupun terpengaruh berat oleh Aristoteles, tetapi ia juga memiliki pemikiran filsafat sendiri, yang tidak dimiliki oleh mu’allim al-Awwal, Aristoteles sendiri.

Secara karakteristik , filsafat Islam menurut Sirajuddin Zar dirangkum menjadi tiga;

1)      Filsafat Islam membahas masalah yang sudah pernah dibahas filsafat Yunani dan lainnya, seperti ketuhanan, alam dan ruh. Akan tetapi, selain penyelesaian dalam filsafat Islam berbeda dengan filsafat lain, para filosof Muslim juga menambahkan dan mengembangkan ke dalamnya hasil-hasil pemikiran mereka sendiri.
2)      Filsafat Islam membahas masalah yang belum yang belum pernah dibahas sebelumnya seperti Filsafat Kenabian ( al-Naz}ariyat al-Nubuwat).
3)      Dalam filsafat Islam terdapat pemanduan antara agama dan filsafat, antara aqidah dan hikmah, antara wahtu dan akal. Bentuk seperti ini banyak terlihat dalam pemikiran filosof Muslim seperti; al- Madinat al-Fad{ilat (Negara Utama) dalam filsafat al-Farabi: bahwa yang menjadi kepala Negara adalah nabi atau filosof . Begitu juga pendapat al-Farabi pada filsafat kenabian: bahwa Nabi dan Filosof adalah sama-sama menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Akal Aktif ( Akal X). Akan tetapi, berbeda hanya dari segi tehnik, Filosof melalui Akal Perolehan (Mustafad) dengan latihan-latihan, sedangkan Nabi dengan akal Had yang memiliki daya yang kuat (al-Qudsiyat) jauh kekuatannya melebihi akal Mustafad filosof. Akal had Nabi berasal dari Allah, hal itu diperoleh bukan berdasarkan latihan-latihan berpikir. Oleh karena itu , pengetahuan diperoleh para nabi (wahyu) tidak mungkin bertentangan dengan pengetahuan yang diperoleh para filosof.

Jelas bahwa filsafat Islam benar-benar ada dan bukan plagiat dari filsafat Yunani. Kalau dilacak dari akar sejarahnya , pandangan Islam tentang Filsafat tumbuh besamaan munculnya Islam itu sendiri. Ketika rasulullah SAW menerima wahyu yang pertama , yang mula-mula diperintahkan kepadanya adalah ‘ membaca’. Dari kata Iqra’ inilah lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti,mengetahui ciri sesuatu dan membaca teks baik yang tersurat maupun tersirat.

Jadi yang disebut filsafat Islam adalah perkembangan pemikiran umat islam dalam masalah ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam semesta yang disinari ajaran Islam. Adapun difinisinya secara khusus seperti apa yang dikemukakan penulis islam sebagai berikut :
Ibrahim Madkur, Filsafat Islam adalah pemikiran yang lahir dalam dunia Islam untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat.
Ahmad Fu’ad al-Ahwani. Filsafat Islam adalah pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam.

M. ‘Atif al-‘Iraqi. Filsafat Islam secara umum didalamnya tercakup ilmu kalam, ilmu usul fiqih, ilmu tasawuf, dan ilmu pengetahuan lainnya yang diciptakan oleh intelektual Islam. Pengertiannya secara khusus, ialah pokok-pokok atau dasar-dasar pemikiran filosofis yang dikemukakan para filosof Muslim.

- Orisinilitas dan Otentisitas Filsafat Islam

Sejarawan Islam abad pertengahan, Ibnu Khladun (w.708 H/1406 m), mengakui adanya unsur Yunani dalam filsfat Islam. Ia menganalisa filsafat di dunia Arab dengan pendekatan sosiologis. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat Arab sebenarnya tidak memiliki kemampuan berfilsafat karena keseharian mereka disibukkan dengan urusan pengaturan dan pembelaan negara. Filsafat masuk ke dalam Islam di Barat (Andalusia), Abu Said al-Andalusi dalam kitabnya Thabaqatul umam, ia mangatakan masyarakat Arab adalah masyarakat sederhana yang tidak mampu berfilsafat. Bedanya adalah ia yang berasal dari Barat cenderung rasis dalam menganalisa permasalahan. Said menyimpulkan bahwa dalam tradisi Arab hanya dikenal dua orang filosof, yaitu Al-Kindi dan al-hamdani, sementara filosof lainnya berasal dari Barat. Pandangan rasis said inilah yang tampaknya di kemudian hari mempengaruhi tesa Ernest Renan dalam membagi fikiran manusia berdasarkan ras.

Dalam ranah pemikiran kontemporer, hampir semua ajaran Islam yang menekuni bidang filsafat juga mengakui bahwa filsafat Islam menerima banyak pengaruh dari peradaban luar, tidak saja dari Yunani. Mustafa Abdul Raziq misalnya menganggap bahwa keterpengaruhan adalah sebuah bentuk aksioma dari sejarah peradaban manapun. Tidak ada yang perlu diperdebatkan bahwa semua peradaban tidak luput dari pengaruh dan pengalaman peradaban sebelumnya. Termasuk juga didalamnya peradaban Yunani.

Permasalahan yang muncul sebenarnya adalah pada bentuk metode orisinil (manhaj ashil) milik peradaban tersebut. Mustafa Abdul Raziq membuat pendekatan baru dalam meneliti orisinilitas filasfat dalam peradaban Islam. Untuk menghasilkan konklusi yang lebih berkesesuaian dengan realitas, ia mengajak para pengkaji filsafat Islam untuk terlebih dahulu meneliti sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran filosofis (al nazhar al-aqliy) dalam Islam sesungguhnya dimulai dalam sejarah tasyri’ tersebut. Jika ditelusuri sejarah ini, maka geneologi filsafat dalam Islam sesungguhnya sudah dumulai sejak munculnya ijtihad fiqih. Ijtihad merupakan usaha untuk memfungsikan peran akal dalam bimbingan wahyu adalah terma yang paling mewakili untuk menampilkan metode Islam yang orisinil dalam filsafat dan tidak terkontaminasi peradaban lain.

Pemikiran filosofis didunia Arab diakui oleh Mustafa sebenarnya sudah ada sejak masa pra Islam. Akan tetapi sejak kemunculan Islam pemikiran tersebut lebih terarahkan karena mendapatkan banyak dukungan dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Di dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang berisi ajakan agar manusia menggunakan akal fikiran dan perintah agar merenungkan setiap fenomena yang ditemui oleh akal fikiran. Al-qur’an dan Sunnah juga mengajarkan agar akal fikiran digunakan untuk mencerna dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri. Mustafa Abdul Raziq kemudian sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Ushul fiqih dan Ilmu kalam adalah dua disiplin ilmu orisinil dalam Islam yang merupakan bentuk modifikasi dari nash-nash al-Qur’an daaaaan as-Sunnah yang dipahami secara filosofis oleh umat Islam, sehingga menjadi bagian ilmu filsafat dalam Islam.

Ibrahim Madkour juga memulai kajian di bidang filsafat Islam dengan terlebih dahulu membuat pengakuan bahwa filsafat adalah fenomena generik (al-zhahirah al-insaniyyah) di mana keterpengaruhan bukanlah sebuah aib bagi sebuah peradaban. Setelah itu Ibrahim Madkour juga mengatakan bahwa sebesar apapun filsafat asing melakukan inflitrasi ke dalam peradaban Islam, umat Islam tetap mampu membuat ciri yang khas dan independen.

Secara umum ada tiga metode yang digunakan oleh Ibrahim Madkour dalam mengkaji otentisitas dan otoritas filsafat Islam. Pertama, metode historis (mutaba’atu sair) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber sejarah yang berupa teks-teks klasik karya para filosof Islam. Kedua, dengan melakukan komparasi (muqaranah) antara pemikiran Islam dengan pemikiran lainnya, baik sebelum ataupun sesudah Islam. Ketiga, dengan membuat teori ketersambungan filsafat, dimana Islam adalah salah satu mata rantai dari sejarah panjang filsafat.

Ibrahim Makour mengaplikasikan tiga metode ini dengan mengangkat lima nazhariyah (teori) yang pernah muncul di filsafat Islam. Teori pertama, adalah tentang kebahagiaan. Teori kedua, tentang kenabian. Teori ketiga tentang nafs. Teori keempat, tentang ketuhanan. Teori kelima, tentang kebebasan berkehendak.
Penelitian Ibarahim Madkour terhadap lima teori ini mengahasilkan kesimpulan bahwa filsafat Islam adalah filsafat yang ekletis (al-tawfiq) dan sinkretis (al-ikhtiar). Filsafat Islam bisa melakuka harmonisasi antara akal (aql) dan periwayatan (naql), dan juga antara filsafat dengan agama. Filsafat Islam memiliki karakter yang bebas menentukan pilihan sepanjang sesuai dengan ruh islami. Filsafat Islam juga mampu memadukan antara karya filosof Barat (Yunani) dengan Filsafat Timur (India dan Persia) di bidang kedokteran dan perhitungan. filsafat Islam juga mampu memadukan antara Aristoteles dan plato.

Filsafat Islam menurut Ibrahim Madkour adalah filsafat yang progresif dan mampu melampaui para periode sebelumnya. Sebagai sebuah bagian dari mata rantai filsafat, Islam mampu memanfaatkan warisan (legacy) peradaban-peradaban kuno, Islam mampu membentangkan jalan bagi lahirnya peradaban-peradaban yang datang sesudahnya. Islam lah yang membangkitkan filsafat Yahudi dan Nasrani dari kubur (marqad) mereka masing-masing.

Dalam karyanya The Rocontruction of Religion Thought in Islam  Muhamamad iqbal juga berkesimpulan bahwa filsafat Islam lah yang menjadi pemasok bagi pemikiran filsfat abad pertengahan dan abad modern. Pemikir semisal Roger Baicon adalah contoh filosof Barat yang terpengaruh dengan Manhaj Tajribiy (metode impiris) yang dikembangkan di dunia Islam.

Masalah orisinilitas filsafat Islam juga dikaji oleh tokoh Ali Sami an-Nasyar. Sepanjang hayatnya adalah dipergunakan untuk membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak pernah berhutang dengan peradaban Yunani. Ia mengarang trilogi Nasyatul Fikril Falsafi fil Islam yang berisikan pandangan-pandangan barunya mengenai wujud filsafat Islam. Menurut Ali Sami an-Nasyar, filosof Islam adalah mereka yang menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai muntalaq pemikirannya, bukan dari karya bangsa Yunani. Walhasil filosof Islam dalam perspektif Ali adalah Fuqaha, mutashawwifun, dan Mutakallimun.

Jika megacu kepada al-Qur’an, jelas tidak benar jika Islam dituduh tidak mampu membuat kreasi dan mendatangkan hal baru di hadapan konsep-konsep filsafat Yunani. Sebab al-Qur’an telah banyak berbicara tentang Tuhan, manusia, alam semesta dan moralitas yang sama sekali berbeda dengan yang pernah difikirkan oleh bangsa Yunani. Tidak benar juga jika Islam dituduh sebagai agama yang tidak mampu memberikan seperangkat sistem berfikir yang filosofis, sebab Islam adalah agama yang menghormati akal. Sebegaimana disebutkan dalam surat al-Jatsiyah ayat 13, yang artinya:
             “Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.

Dari beberapa uraian dan pendapat para pakar filsafat tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam bukanlah filsafat Yunani. Filsafat Islam mempunyai orisinilitas dan otentisitas tersendiri yang berbeda dengan filsafat Yunani. Memang betul dalam beberapa hal filsafat Islam ada yang terpengaruh dari pemikiran Yunani dan peradaban lainnya, namun itu tidak menghilangkan ciri keislamannya, yaitu berupa pandangan hidup yang bersumber dari al-Qur’an dan As-Sunnah.

b. Mengidentifikasi Pergulatan Para Tokoh Muslim Dalam Invasi Pemikiran  Kedalam Dunia Islam

Kelahiran kaum rasionalis Islam, mu’tazilah yang banyak memakai akal tidak dapat lepas dari pengaruh besar Aristoteleanisme, terutama dalam pengunaan penalaran logis menurut logika Aristoteles, yang menurut Ibrahim Madkour, mu’tazilah adalah peletak ilmu kalam (teologi) yang sesungguhnya, karena ia telah membahas persoalan-persoalan teologi dengan lebih mendalam dan bersifat filosofis.

Akan tetapi al-Kindi (185/801-260 H/873M) adalah failosuf pertama yang memprakasai proses perumusan vokabuler teknis falsafah dalam Islam, dan melakukan sorotan-sorotan terhadap falsafah dengan ajaran-ajaran Islam. Al-Kindi telah mengatakan gagasan-gagasan baru dalam mendamaikan atau mamadukan atau mengharmonisasikan atau memadukan warisan Aristoteles dengan ajaran-ajaran Islam. Usaha pemaduan atau pengharmonisasian antara falsafah dan agama untuk jangka lama menjadi  ciri utama   falsafah dalam Islam.

Di atas sudah disebutkan bahwa al-Ma’mun telah memprakarsai secara besar-besaran Helenisasi di dunia Islam. ia mendukung aliran Mu’tazilah yang lebih dekat kepada para failosuf. akan tetapi setelah al-Ma’mun  meninggal dunia, kekhalifahan digantikan oleh al-Mutawakkil (w.247H.), maka ia mendukung para ulama sunni dan menentang kaum rasionalitas Islam. Al-Kindi sendiri, menurut Ibn Abi Ushaibi’ah, pernah disakiti karena pekerjaanya mengembangkan pemikiran falsafah. Dengan disakiti itu al-Kindi bukannya menjadi jera, malahan menjadi bertambah gigih mempertahankan falsafah. Al-Kindi sungguh yakin bahwa falsafah adalah ilmu yang mengetahui tentang kehakekatan sesuatu, ia adalah tugas manusia yang paling tinggi dan mulia serta paling tinggi martabatnya.

Kalau orang-orang Yunani telah membukakan dan memudahkan  jalan bagi kita untuk mencari hakekat yang tersembunyi, seharusnya kita berterimakasih kepada mereka yang telah bersungguh-sungguh mencari kebenaran itu, bukannya harus  memberikan celaan dan makian, kata al-Kindi. Al-Kindi benar-benar yakin bahwa antara filsafat dan agama selalu harmonis, dan tidak pernah bertentangan, karena akal dan wahyu sama-sama bersumber dari Tuhan.

Usaha al-kindi kemudian secara intensif dilanjutkan oleh al-Farabi (258/870-339H/950M) yang membuat dasar falsafah Aristoteleanisme menjadi kukuh dalam Islam. Al-Farabi, sebagai yang dikenal dengan “guru kedua”, begitu yakin dengan kebenaran falsafah, sehingga ia mengatakan bahwa kebenaran yang dibawa failosuf  sebenarnya adalah satu dan sama. Falsafah Plato dan Aristoteles sebenarnya adalah sama, yang berbeda hanya berbentuk lahirnya saja, demikian juga pada hakekatnya ajaran antara para failosuf dan para nabi adalah sama, dan tidak bertentangan.

Akan tetapi eksponen Islam yang terbesarnya adalah Ibnu Sina (980-1037 M). Ia mengarah ke suatu filsafat yang berdasarkan penggunaan logika dan bertumpu pada hakekatnya pada metode syllogis Aristoteles dan berupaya mencapai kebenaran dengn argumen berdasarkan nalar. Baginya tidak ada yang tidak dapat dikaji oleh akal, harta alam metafisik, alam gaib, atau masalah ketuhanan, karena antara failosuf dan  nabi  tidak akan berbeda, sebab setiap nabi adalah failosuf. Hal inilah yang dipersalahkan oleh al-ghazali (450/1058-505H/1111M). Al-Ghazali menyerang tendensirasionalistis yang inheren dalam falsafah Aristoteles dan menuduh para failosuf, terutama al-Farabi dan Ibnu Sina, telah membuat banyak kesalahan dengan logika mereka, terutama dalam masalah metafisika (ketuhanan). Sampai-sampai al-Ghazali mengkafirkan para failosuf  dalam masalah ini. dengan serangannya itu ia berhasil mengurangi pengaruh filsafat Aristoteleanisme di dunia Islam, khususnya dikalangan sunni, dan mengandung danpak negatif. Sungguh al-Ghazali sendiri sebenarnya masih menghalalkan dan memakai logika Aristoteles, namun dalam ketentuan yang terbatas.

Aspek rasionalistis falsafah Aristoteles mencapai puncaknya pada Ibnu Rusyd (520/1126-595 H./1198 M). Ia merupakan tokoh yang paling berpaham Aristoteles dikalangan paripatetik muslim. Puncak kesempurnaan yang dicapai oleh Ibnu Rusyd adalah usahanya dalam memadukan antara falsafah dan agama. Bahkan ia berpendapat bahwa agama Islam secara inheren adalah agama yang filosofis, karena agama mewajibkan kita berfalsafah.

Ibnu Rusyd diakui sebagai pengikut termurni Aristoteles di antara failosuf muslim. Ia adalah komentator terbesar abad pertengahan tentang Aristoteles. St. Tomas menyebutnya “sang komentator” dan Dante menamakannya orang yang membuat komentar hebat”. H.A. Walfson menyebutnya “seorang ahli terkemuka tentang falsafah abad petengahan  dan khususnya perihal Aristoteles”. Gelar-gelar ini memang tepat untuknya, karena ia telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengembalikan falsafah  Aristoteles kepada kemurniannya yang semula, setelah falsafah itu sampai ketangan orang-orang Islam bercampur dengan berbagai aliran berfalsaafat, dan berbagai fikiran dan pemahaman.

Memang disadiri bahwa Ibnu Rusyd adalah seorang Aristotelean yang dapat dikatakan sangat mengaguminya dan pengikut yang setia. Ibnu Sab’in menyebutkan bahwa Ibnu Rusyd mengikuti pemikiran Aristoteles dengan penuh kesadaran, dengan akal dan perasaan, seolah-olah Aristoteles adalah seorang laki-laki yang bersifat ilahi. (nabi, pen.) yang tidak pernah bersalah.

Didalam pengantar kaitan fisika (al-Tabi’iyat) Ibnu Rusyd mengatakan: “pengarang kitab ini Aristoteles, failosuf Yunani yang paling agung dan jenius. Peletak pertama ilmu logika, fisika, dan metafisika, dan sekaligus dengan cara yang paling sempurna, yang tidak pernah dicapai oleh para failosuf sebelum dan sesudahnya. Orang yang datang sesudahnya tidak dapat berbuat sesuatu melebihi Aristoteles, dan orang selalu mengambil darinya. Sampai saat ini (masa Ibnu Rusyd, pen.) orang tidak pernah menambahkan sesuatu yang baru dan tidak  pernah menemukan sesuatu yang salah dan  keliru  dari Aristoteles  Aristoteles. Ini sungguh aneh dan luar biasa, mu’jijat. Kata Ibnu Rusyd, karena semua ilmu ini (logika, fisika dan metafisika) telah berkumpul pada diri satu orang. Karena diistimwakannya itu  ia lebih pantas  disebut sebagai seorang pribadi yang bersifat illahi ketimbang pribadi manusiawi.

Malahan lebih lanjut lagi Ibnu Rusyd mengatakan, bahwa ajaran Aristoteles adalah kebenaran tertinggi (al-Haqq al-a’la) dan sesuatu tertinggi yang pernah tercapai oleh seorang manusia peripurna. Ajarannya adalah kebenaran obsolut (al-haqiqah al-muthlaqah), yaitu yang pernah dicapai oleh tingkatan akal manusia yang tertinggi. Aristoteles termasuk orang yang disebutkan dalam firman Allah (al-haddid, 57:21)” itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada yang dikehendaki-Nya.

Memang Ibnu Rusyd, dilihat dari suatu pandangan sejarah falsafah di Eropa Barat, dianggap sebagai penafsiran Aristoteles yang terbesar disepanjang masa. Ibnu Rusyd menjadi sumber-sumber utama Aristoteleanisme abad pertengahan. Dan untuk jangka waktu lama ia dipandang sebagai pemikir muslim yang paling besra pengaruhnya di Barat. Keyatannya, sebagian besar karyanya yang masih ada waktu ini adalah versi Latin dan Ibrani, bukan dalam bahasa Arab. Demikian juga lahir suatu gerakan yang terkenal dengan “Latin Averroist”.

 Jika sepeninggal Ibnu Rusyd, falsafahnya tidak mendapat penghargaan yang wajar dari dunia Islam sendiri, namun dalam lingkungan Yahudi dan Kristen memberikan penghargaan yang tingi-tingginya terhadap Ibnu Rusyd dan berkembang menjadi salah satu bahan pokok pembangkitan intelektual di dunia Eropa. Jika didunia Barat banyak sekali yang tercatat sebagai murid dan pengikut Ibn Rusyd, seperti Maimonides seorang Yahudi, Josep ibn Judah muridnya, Siger de Brabat dan lain-lain, maka di dunia Islam Ibn Rusyd hampir tidak mempunyai murid atau penerusnya.

Kenyataan bahwa kaum muslim banyak memanfaatkan metode berfikir logis menurut logika formal (sillogisme) Aristoteles,  cukup sebagai bukti betapa jauhnya ajaran Aristoteles dikalangan orang-orang Islam. Hingga sampai saat ini logika Aristoteles tetap merupakan ajaran pokok dalam pesantren-pesantren dan perguruan tinggi. Pengaruhnya tidak hanya terbatas dikalangan failosuf dan teolog, tetapi juga masuk kedalam ulama dan tafsir. Disamping banyak yang terpengaruh oleh Aristoteleanisme, terdapat pula orang-orang yang kontra terhadapnya, yaitu dari kalangan bahasa, Ibn Taimiyah , Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Syuhrawardi dan lain-lain.

Memang tidak ada alasan untuk  mengatakan bahwa pemikiran Islam tidak mengenal pengaruh dari pemikiran  Yunani dan lainnya, tapi bagi orang Islam pemikiran Yunani bukan hanya satu-satunya yang mereka miliki, di samping itu mereka juga memiliki al-Quran, yang oleh Ibn Rusyd disebutkan bahwa, kitab yang secara inheren mengandung nilai-nilai filosofis, karena al-Quran mengajarkan pada kita berfilsafat. Akal dan wahyu akan selalu sejalan  dan harmonis, tidak bertentangan, sebab akal adalah pemberian Tuhan, ia merupakan suatu kebenaran, wahyu juga pemberian Tuhan, juga suatu kebenaran; maka kebenaran itu tidak akan bertentangan dengan kebenaran, malah saling menguatkan dan mengokohkan.

Kita tidak menolak bahwa  pemikiran falsafah Islam terpengaruh oleh falsafah Yunani, para filosof muslim meminjam sebagian besar pandangannya dari Plato, Aristoteles, Neo Platonisme dan lain-lain. Akan tetapi kita juga bertanya, siapakah yang tidak pernah menjadi murid dari orang yang mendahuluinya dan tidak terkena pengaruh dari para pendahulunya? Kita saja generasi abad ke-20 selalu menggantungkan diri kita dalam banyak hal kepada kajian Yunani dan Rumawi. Tentu saja benar-benar salah dan keliru jika kita berpendapat bahwa  belajar dan berpengaruh dari pendahulu kita adalah meniru dan membebek semata-mata, dan mengatakan bahwa falsafah Islam hanyalah copy naskah yang dinukil dari Aristoteleanisme, Neo Platonisme, dll.

Transformasi dan peminjaman beberapa pemikiran tidak harus mengkonsekwensikan perbudakan dan perhambatan. Maka satu ide dapat dibahas oleh banyak orang, dan tidak lama segera tanpil atas prakasa mereka di dalam berbagai macam fenomena. Seorang failosuf berhak mengambil pandangan orang lain, tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk membawa teori-teori dan falsafahnya sendiri. Spinoza, misalnya, walaupun dengan secara jelas sebagai pengikut Deskrates, tetapi ia dianggap memiliki pandangan-pandangan filosofis yang berdiri sendiri. Begitu pula kaum rasionalis Islam, para teolog dan failosuf, walaupun sebagai murid yang murni dari Aristoteles atau Neo Platonisme, tetapi mereka mempunyai pandangan tersendiri yang tidak pernah dikatakan oleh failosuf Yunani.

Banyak persoalan pokok falsafat yang tidak terdapat dalam falsafat Yunani mendapatkan pembahasan pokok dalam falsafat Islam. Kaum rasionalis Islam, para teolog dan failosuf, disamping membahas persoalan falsafat dan agama secara terpadu, mereka juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggung jawab pribadi dihadapan Tuhan, kebebasan dan keterpaksaan (determenisme), kehidupan sesudah mati, surga dan neraka, teori tentang kenabian, mu’jizat. Asal-usul penciptaan, dsb., yang kesemuannya itu bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa  dalam hellenisme.  Dalam artian, bahwa dalam suatu pinjaman dan utang dari pemikiran asing dengan cara yang selectif adalah logis dan wajar, tetapi kemudian kaum rasionalis Islam melestarikan dan mengembangkannya, yang kalau  tidak karena mereka tentu peradaban Yunani itu menjadi hilang ditelan masa dan tidak akan ada orang yang mengenalinya secara baik pada saat ini. Karena merekalah yang mewariskan peradaban Yunani itu kepada generasi yang akan datang sesudahnya. Di samping itu persoalan-persoalan baru yang mereka bahas, yang tidak terdapat pada peradaban asing, telah merupakan sumbangan yang tidak ternilai artinya terhadap peradaban umat manusia.


Kesimpulan dan Saran
 
Hari ini kita telah berfilsafat, besok kita berfilsafat, entah kapan berakhirnya, Semua orang berfilsafat, dan kita telah membuktikan bahwa filsafat Islam telah dikenal luas dalam pemikiran peradaban manusia baik di kalangan Islam sendiri maupun dimancanegara . Sebagaimana filsafat lain, Filsafat Islam memiliki posisi yang amat penting dalam dunia pemikiran filsafat. Bahkan orang Barat tidak akan mengenal filsafat juga sains tanpa kontribusi Islam, terutama pemikiran rasionalistik Ibnu Rushd yang menjadi motifasi timbulnya renaisans di Eropa yang kemudian membuat kemajuan Barat sekarang.

Makalah ini akan ada artinya jika kita yang hidup hari ini mampu menangkap sinyal yang diisyaratkan oleh para filosof Islam juga saintisnya dan mengaplikasikannya dengan kondisi kekenian. Mengenal filsafat Islam, berarti kita harus mampu menyelaminya. Pemakalah ingin menutup makalah ini mengutip ungkapan seorang filosof seperti yang tertera dalam kitab al- Falsafah fi Athariha al-Tarikhi oleh Taufiq Tawil ;
“ Saya bukanlah seorang ahli pengetahuan , karena ahli pengetahuan itu khusus untuk Tuhan saja, saya adalah seorang Filosof , yakni pencinta ilmu pengetahuan”

Dari berbagai uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah suatu ilmu yang didalamnya terdapat ajaran Islam dalam membahas hakikat kebenaran segala sesuatu. Filsafat Islam adalah filsafat yang diterapkan berdasarkan pada hukum Islam. Ia  merupakan filsafat khusus dan objeknya tertentu, yaitu hukum Islam.

Adapun hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani adalah sebagai pengembang, penerus sekaligus pelopor filsafat yang bercorak Islam. Filsafat Islam itu lahir karena dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Islam, yakni pada masa Khalifah Abbasiyah.

Filsafat Islam mempunyai orisinilitas dan otentisitas tersendiri yang berbeda dengan filsafat Yunani. Memang betul dalam beberapa hal filsafat Islam ada yang terpengaruh dari pemikiran Yunani dan peradaban lainnya, namun itu tidak menghilangkan ciri keislamannya, yaitu berupa pandangan hidup yang bersumber dari al-Qur’an dan As-Sunnah.

Jika megacu kepada al-Qur’an, jelas tidak benar jika Islam dituduh tidak mampu membuat kreasi dan mendatangkan hal baru di hadapan konsep-konsep filsafat Yunani. Sebab al-Qur’an telah banyak berbicara tentang Tuhan, manusia, alam semesta dan moralitas yang sama sekali berbeda dengan yang pernah difikirkan oleh bangsa Yunani.


DAFTAR PUSTAKA

R. Slamet Imam Santoso. 1977. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Sastra Hudaya

Bertrand Russell. 1974. History of Western Philosophy, London: George Allen/Unwin LTD
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, 1978.

Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, Kairo

M. Abd al-Sattan Nasr, al-Madrasah al-Salafiyah wa Mauqif Rijaluha min al-Manthiq, (Kairo: Dar al-Anshar, 1976)

Jalal al-Din al-Sayuthiy, Shaun al-Manthiq wa al-Kalam, ed. Ali Sami al- Nasysyar,  (Kairo: Tanpa Penerbit, 1947)

Ali Sami al-Nasysyar,  Manahijal-Bahts inda Muffairi al-Islam (Kairo: Dar al-Ma’rif, 1978)

Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, Ter. (jakarta:Pustaka Jaya, 1986)

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat I. (jakaera:Pustaka Jaya, 1986)

Muhammad Yusuf Musa, Bain al-Din wa al-Falsafah, (Mesir: Dal al-Ma’arif, 1968)

Djemil Shaliba, Min Aflaton ila Ibn Sina, (Bairut: Dar al-Andalas, 1981)

De lacy O’ Leary, D.D., How Greek Science Passed to the Arab, (London: 1957)

Ali Sami al-Nasysyar, Manajih, h. 31. Lihat juga T.j De Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York: Dover Publication, Inc., 1967)

Nuchalis madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992)

Djemil Shaliba, Tarekh al-Falsafah al-Arabiyah, (Bairut: Dar al-Kitab a-Libnaniy, 1973)

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalamIslam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978)

Ibn al-Nadin, Al-Fihrist, (Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1978)

George N. Attyeh, Al-Kindi Tokoh Failosuf  Muslim, (Bandung: Pustaka, 1983)

Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah II, (Mesir Dar al-Ma’arif, 1976)

Seyyed Hossen Nasr, Science and Civilization in Islam, (Massachusetts: Cambridge, 1968)

Usaha pemaduan al-Kindi  ini lebih jauh dapat dilihat pada M. ‘Atif al-iragi, Mazhab Falasifah al-Masyriq, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1978)

Dalam hal ini al-Farabi menulis sebuah buku khusus yang bernama: Kitab al-Jam’u Batin Ra’yi al-Hikimain.

Harun Nasution, Falsafah

Ibn Rusyd, Fashl al-Maqam fi ma bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, ed. M. Emara (Kairo: Dar al-Mairrif 1972)

Djemil Shaliba, Min Aflaton ila Ibn Sina

Ernest Renan, Ibn Rustd wa al-Rusydiyah, terj. Adil Zu’aitir (Kairo:Isa al-Babi al-Halabi, 1957)

Nurcholis Madjid, ed., Khasanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1948)

Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah-I,

Muzairi. 2009. Filsafat Umum. Yogyakarta: Teras

Akhyar Yusuf Lubeis. 2011. Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan. Depok: Koekoesan

Mustofa. 2009.Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia

http://taufikrahmatullah.wordpress.com/2013/01/07/perbedaan-mendasar-filsafat-islam-dan-barat_/ 20:00 wib /21/04/214

A. Mustofa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2009

Dedi Supriyadi, Filsafat Islam; Konsep, Filosof dan Ajarannya, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2009

Nurcholish Madjid, “Memahami Hikmah dalam Agama” dalam Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, Mediacita, Jakarta, 2000

Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cet.II, 1978,

Abudin Nata, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994,

De Lacy O’Leary, How Greek Science Passed to the Arab, Routledge, London, cet. III. 1957,

Bertold Spuler, The Muslim World, E.J Brill, Leiden, 1960.

Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, Pustaka, Bandung, cet. I, 1986.

Abudin Nata, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf

Moh Ridwan Assegaf, Antara Kebudayaan Timur Islam dan Barat, Yayasan Obor, Jakarta, 1989

Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Iklam, Dar Al-Fikr, Beirut, 1973.

http://www.google.com/url?q=http://anongscolection.files.wordpress.com/2012/01/hubungan-filsafat-islam-dengan-filsafat-yunani.doc&sa=U&ei=2VhWU_rnlePtiAfjgoG4Cw&ved=OCBYQFjAAOAo&usg=AFQjCNGPLLuXFPJaXrCUSkZi61042uOi2g 19:00/22/04/2014