Music

Pages

Selasa, 22 Maret 2016

MEMAHAMI KORELASI FILSAFAT ISLAM DENGAN FILSAFAT YUNANI



Awal Persentuhan Pemikiran Islam dan Barat (Yunani)

A.    Aspek Doktrin
 
Sebelum filsafat dikenal oleh kaum Muslim, mereka terlebih dahulu mengenal ilmu kalam. Ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan dan berbagai cabangnya, termasuk di dalamnya tentang kenabian dan hari akhir. Awal mula kemunculan ilmu kalam adalah perdebatan mengenai Al-qur’an itu qadim atau hadits, namun benihnya sudah ada sejak Nabi Muhammad wafat. Yaitu siapakah pengganti atau pemimpin setelah beliau wafat. Dan mulai terlihat dengan jelas ketika terjadinya perpecahan diantara umat Islam pada perang shiffin antara Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan.

Dalam perang shiffin terjadilah peristiwa tahkim yaitu pihak Muawiyah meminta damai dan kembali pada kitabullah sambil mengangkat mushaf Qur-an. Awalnya Sayidina Ali menolak, namun sebagian pengikutnya memaksa agar kembali pada kitabullah yang akhirnya beliau menyetujuinya. Pada saat itu Muawiyah meminta agar kepemimpinan umat dipilih oleh rakyat dan mengosongkan terlebih dahulu kepemimpinan yang sudah ada masing-masing pihak mengutus delegasinya. Pihak Sayidina Ali mengutus Abu Musa al-Al’asyari dan pihak Muawiyah mengutus Amr bin Ash. Dengan siasatnya yang cerdik, Amr bin Ash berhasil memenangkan kepemimpinan Muawiyah dan menurunkan Sayidina Ali.

Setelah peristiwa tersebut umat Islam terpecah menjadi tiga golongan yaitu pengikut setia Sayidina Ali yang kemudian dikenal dengan sebutan Syi’ah, golongan yang keluar dari barisan Sayidina Ali yang merasa kecewa dengan hasil keputusan yang didapat, padahal merekalah yang menyuruh beliau untuk menerima perdamaian dengan Muawiyah, mereka kemudian disebut kaum Khwarij. Dan golongan yang tidak berpihak pada keduanya dan menangguhkan penilaian (salah dan benar) terhadap keduanya, golongan ini dikenal dengan kaum Murjiah.

Golongan ini kemudian menjadi semacam madzhab yang mempunyai doktrinnya sendiri dengan mencari pebenaran Al-Quran dan Hadis.

Mereka pun kemudian terpecah-pecah lagi dan semuanya mengatakan bahwa apa yang mereka yakini adalah dari Qur’an dan hadits. Mereka menggunakan dalil naqli sekigus dalil aqli. Dan belakangan munculalah kaum Mu’tazilah dengan teologi rasionalnya yang banyak meminjam konsep-konsep Yunani dalam hal logika tanpa mengikatkan diri pada ajaran filsafat Yunani.

Kaum Mu’tazilah meletakan dasar kebebasan berpikir dan kebebasan berkehendak dalam teologinya. Mereka menggunakan alat yang bernama logika formal yang biasa digunakan oleh filsafat dalam mencari kebenarannya. Dan disinilah benih filsafat dalam Islam ditanamkan.

B. Aspek Sejarah 
 
Latar belakang kemunculan filsafat Islam adalah karena adanya penerjemahan buku-buku filsafat Yunani kedalam bahasa arab yang tersimpan di perpustakaan kuno daerah-daerah yang telah dikuasai oleh kaum muslim, seperti Alexandria, Antioch, Edessa, Harran dan Judinsapur. Kota-kota tersebut dulunya adalah pusat ilmu pengetahuan.

Pada masa berakhirnya Bani Umayah dan permulaan Bani Abbasiyyah penerjemahan buku-buku yang berbahasa Yunani ataupun Suryani diterjemahkan dengan bantuan orang-orang terpelajar dari berbagai pusat tersebut. Penerjemahan tersebut memakan waktu sekitar 150 hingga 200 tahun. Pada masa berikutnya bahasa arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan selama 700 tahun.

Penerjemahan di masa Harun Ar-Rasyid (786-809) di fokuskan pada karya-karya Aristoteles dan karya-karya bangsa Persia. Kemudian dilanjutkan oleh Al-Makmun yang dikenal sangat tertarik dengan kebebasan berfikir yang berkuasa 813-833 M. beliau mengadakan hubungan kenegaraan dengan raja-raja Romawi, Bizantium yang berpusat di Konstantinopel.

Dengan adanya berbagai macam interaksi dengan dunia luar dan penerjemahan buku inilah yang mengakibatkan kemunculan filsafat di dunia Islam. Metode-metode filsafat mulai digunakan dalam menafsirkan ajaran Islam yang bersumber dari Quran dan Hadis. Seperti yang dilakukan Al-Kindiyang dikenal sebagai bapak Filsuf Islam atau arab yang menafsirkan Qur’an secara rasional bahkan dengan cara filosofis.

Pada awal kemunculannya corak filsafat Islam kebanyakan beraliran paripatetik yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani khususnya Aristoteles. Walau demikian bukan berarti filosof muslim hanya mengekor pada pemikiran Yunani, melainkan melakukan kritik dan menambahkah permasalahan-permasalahan baru yang harus diselesaikan. Permasalahan-permasalahan ini sebelumnya tidak ada pada masa Yunani. Selain paripatetik ada juga aliran Iluminisionis dan Hikmah Muta’aliyah yang merupakan ciri khas pemikiran/filsafat Islam.

Itulah sejarah singkat tentang lahirnya filsafat Islam, yang memunculkan banyak tokoh filsafat di dunia Islam seperti, Al-Kindi, ibnu Sina, Ar-Razi, Al-Farabi, Suhrawardi, At-Thusi, Ibnu Rusyd, Ibnu Bajah, Ikhwanus Shafa, Mulia Shadra dll. Yang masing-masing mempunyai pemikirannya sendiri-sendri.

C.   Kontak Pertama Kaum Muslimin dengan Filsafat Yunani 

  • 1. Penaklukan Alexander dan Perkembangan Pemikiran Yunani di Timur Tengah
Perkembangan pemikiran Yunani di kawasan Timur Tengah tidak dapat dilepaskan dari penaklukkan yang dilakukan Alexander yang Agung terhadap kawasan tersebut. Ia dapat menguasai Arbela, sebelah Timur Tigris pada tahun 331 yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Darius. Kedatangannya ke daerah tersebut tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, tetapi sebaliknya ia berusaha menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Dari segi kultural, ia sendiri berusaha mengenakan pakaian secara Persia, dan orang-orang Persia sendiri banyak pula yang diangkat menjadi pengawal-pengawalnya. Ia kawin dengan Statira, anak Darius.

Setelah Alexander meninggal, perkembangan selanjutnya terdiri dari Kerajaan Ptolemeus di mesir, dengan Alexandria sebagai ibukotanya dan kerajaan Seleucid (Seleucus) di Asia dengan kota-kota pentingnya seperti Antioch di Siria, Seleucia di Mesopotamia dan Bactra di Persia sebelah Timur. Ptolemus dan Seleucus berusaha meneruskan politik Alexander untuk menyatukan kedua peradaban Yunani dan Iran.

Sungguhpun usaha itu tidak berhasil, namun kebudayaan dan peradaban Yunani meninggalkan bekas di daerah-daerah ini. Bahasa administrasi yang dipakai disana ialah bahasa Yunani. Di Mesir dan Siria bahasa ini tetap dipakai sesudah masuknya Islam ke dalam kedua daerah itu, dan baru ditukar dengan bahasa Arab pada abad VII Masehi oleh Khalifah Bani Umayyah A. Malik Ibn Marwan (685-705). Alexandria, Antioch dan Bactra kemudian menjadi pusat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Pada Abad III Masehi pusat-pusat kebudayaan Yunani ini ditambah dengan kota Jundishapur yang letaknya tidak jauh dari Baghdad (didirikan di tahun 762 M). Di sana sewaktu kota itu masuk ke dalam wilayah kekuasan Islam, telah terdapat suatu akademi dan rumah sakit.

Alexandria merupakan kota yang berfungsi sebagai salah satu pusat kegiatan intelektual yang penting dijaman akhir filsafat Yunani Kuno. Menurut keterangan yang diberikan oleh De Lacy O’leary, bahwa di kota ini terdapat bangunan musium yang dilengkapi dengan perpustakaan yang kemudian ia berkembang di zaman Philadelphia (285-247 SM) menjadi perpustakaan terbesar di dunia dalam bidang pemikiran Yunani.

Dari uraian singkat tersebut dapat disimpulkan bahwa penaklukkan Alexander yang Agung di kawasan Timur Tengah ternyata membawa pengaruh terhadap perkembangan pemikiran Yunani di daerah yang ditaklukkannya itu. Perkembangan pemikiran Yunani tersebut terlihat dari munculnya  berbagai pusat atau lembaga pengkajian filsafat Yunani. Semua kota yang menjadi tempat perkembangan pemikiran Yunani ini kemudian dikuasai oleh Islam.

  • 2. Peranan Khalifah Abbasiyah dalam Masuknya Pemikiran Yunani ke Dunia Islam
Ketika Khalifah Bani Abbas Al Mansur sakit di tahun 765 M, dinasehati oleh menterinya Khalid Ibn Barmak (Seorang Persia), kepala rumah sakit Jundishapur agar memanggil Girgis Ibn Bukhtyishu untuk mengobatinya. Khalid Ibn Barmak sendiri adalah berasal dari Bactra, dan dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan serta filsafat, dan condong pada paham Mu’tazilah.

Selanjutnya Harun Al Rasyid menjadi Khalifah Abbasiyah pada tahun 786 M. Sebelumnya ia pernah belajar di Persia di bawah asuhan Yahya Ibn Khalid Ibn Barmak. Dengan demikian ia banyak dipengaruhi oleh kegemaran keluarga Barmak pada ilmu pengetahuan dan  filsafat. Pada zaman pemerintahan Harun Al Rasyid inilah penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab mulai dilakukan.

Peranan penerjemahan dalam memasukkan pemikiran Yunani ke dalam Islam itu telah banyak disebut oleh para ahli sejarah. De Lacy O’eary misalnya, mengatakan bahwa orang-orang Islam menguasai filsafat Yunani adalah melalui kegiatan penerjemahan dan pensyarahan bahasa Yunani, dan kegiatan ini banyak mendapat bantuan dari orang-orang Suryani. Sumber lain menyebutkan bahwa sebagian besar karya ilmu-ilmu populer ditemui oleh orang Islam melalui dorongan dari orang-orang Kristen Nestoria, khususnya para penerjemah dari Siria. Melalui saluran ini sebagian besar ilmu pengetahuan Yunani seperti ilmu pengetahuan kealaman, matematika astronomi, geografi dan kedokteran, dapat dijumpai orang-orang Islam. Khususnya dalam bidang kedokteran, sumbangan yang besar diberikan oleh Akademi Jundishapur yang dipimpin oleh dokter-dokter Yahudi dan Kristen.

Melalui kegiatan penerjemahan itu para cendikiawan Muslim dapat menguasai berbagai disiplin ilmu pengeteahuan dan filsafat, dan mereka berusaha menambahkan kedalamnya hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam lapangan filsafat. Dengan demikian tidaklah tepat pendapat sebagian penelitian Barat yang cenderung memperkecil peranan kaum Muslimin, dimana mereka menganggap bahwa kaum Muslimin hanyalah sebagai penyalin, penerjemah, atau paling tidak sebagai penyarah dan komentator.

Anggapan ini dibantah oleh George Sarton yang pendapatnya dikutip oleh Dr. Effat al-Sharqawi. Beliau mengatakan bahwa pendapat demikian adalah keliru. Tidak ada kretifitas yang lebih besar dari kehausan yang mendominasi perasaan tokoh-tokoh pemikir Muslim akan ilmu pengetahun. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kaum muslimin setelah mengenal Khazanah Yunani segera berusaha mengkaji, memberi komentar dan menjelaskannya. Mereka mengemukakan analis kritik dan polesan Islami terhadap pemikiran Yunani itu.

Perlu juga dikemukakan di sini bahwa keadaan perkembangan filsafat Yunani, ketika dijumpai oleh kaum Muslimin tengah dalam keadaan mundur , bahkan hampir hancur, karena ditekan dan diabaikan oleh para penguasa saat itu. Khazanah ilmu pengetahuan Yunani menemukan penyelamatannya yang mampu membangkitkan kembali pokok-pokoknya yang lama dan mengungkapkan subtansi-subtansinya dengan uraian yang orisinil pada orang Islam, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd. Selain itu, kaum Muslimin juga berusaha mengkompromikan antara filsafat dan agama dengan cara yang adil, seimbang dan rasional. Lebih jauh lagi seringkali sumbangan sumbangan kaum Muslimin itu lebih mendalam dan lebih tinggi peringkatnya daripada sumbangan yang diberikan oleh kaum Iskandariah dan lainnya dari filosof Hellennistik.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa khalifah Abbasiyah adalah awal mula diterjemahkannya naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab. Sehingga lahirlah sejumlah Filosof Muslim terkemuka dikalangan umat Islam. Kemudian ilmu filsafat dari para Filosof Muslim inilah yang dikenal dengan Filsafat Islam.
      
a. Mengkritisi Klaim Bahwa Islam Pada Dasarnya Copy Paste Filsafat Yunani   
 
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu itu terjadi perubahan paradigma manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Paradigma mitosentris adalah pola pikir masyarakat berdasarkan mitos untuk menjelaskan gejala fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi.

Ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktifitas dewa, tetapi aktifitas alam yang terjadi secara kausalitas. Perubahan paradigma tersebut kelihatannya sederhana, namun implikasinya tidak sederhana karena selama ini alam ditakuti dan dijauhi kemudian didekati bahkan dieksploitasi. Manusia yang dulunya pasif dalam menghadapi fenomena alam menjadi lebih proaktif dan kreatif, sehingga alam dijadikan obyek penelitian dan pengkajian. Dari proses inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat, yang akhirnya kita nikmati dalam bentuk teknologi. Karena itu, periode perkembangan filsafat Yunani merupakan entri point untuk memasuki peradaban baru umat manusia
Pada makalah ini, penulis tidak akan membahas Filsafat Yunani secara spesifik, namun penulis mencoba memaparkan tentang histografi filsafat Yunani ke dalam Islam, Integrasi Filsafat dan Islam dan bagaimana Hubungan keduanya. Makalah ini mencoba memberikan gambaran Filsafat Islam serta tokoh-tokoh filsafat Islam.

- Histografi Filsafat Yunani kedalam Islam

Masyarakat Islam dilihat dari sisi latar belakang etnis, bahasa, adat dan pola kebudayaan, menampilkan keberagaman sosok yang disatukan dalam satu ikatan visi keagamaan, yaitu Islam. Islam dengan keragamannya merupakan hasil interaksi sosial, politik,dan budaya masyarakat Islam Arab dengan masyarakat-masyarakat lainnya. Islam banyak mengalami inovasi-inovasi dengan corak social, politik budaya Arab, Persia, dan Yunani ( Hellenisme), China dan Barat. Semuanya itu merupakan bagian penting dalam pembentukan peradaban Islam.

Dari segi Historis, interaksi Islam dengan peradaban dunia sangat diwarnai oleh ekspansi atau penaklukan terhadap daerah kekuasaan lain. Motif-motif penaklukan yang dilakukan kaum muslimin sejak kepemimpinan Nabi Muhammad SAW adalah Jihad untuk melawan orang – orang kafir yang menz}alimi kaum muslimin. Pada awal petumbuhannya, Islam dapat mengambil simpati masyarakat Arab karena semangatnya yang menegakkan keadilan. Islam bukan disebarkan dengan kekerasan atau pedang. Dalam sejarah dibuktikan, dalam ekspansi tesebut kaum muslimin tidak melakukan pemaksaan dalam hal agama.

Setelah Rasulullah SAW wafat 632 M,berturut-turut umat Islam dipimpin al-Khulafa’ al- Rashidun, Bani Umaiyyah dan Bani Abbasiyah. Dibawah kepemimpinan Abu Bakar, Islam telah melakukan penaklukan –penaklukan dibeberapa daerah kekuasaan Byzantium dan Persia. Di akhir pemerintahan ‘Umar bin Khattab Pada tahun 644 M ( Hodgson,2002:24), kekuasaan Islam meliputi Asia Barat, seluruh Irak, Suriah sampai Mesir Selatan dan sebagian pantai Afrika Utara ke arah Cyrenaica. Dan pada waktu kekhilafahan ‘Uthman bin ‘Affan arah peta Islam meluas ke Cyprus. Dalam perjalanan berikutnya, kekuasaan khalifah ‘Uthman sudah mencapai sepanjang pantai Afrika Utara sampai Tripoli. Ke arah utara dari Irak mereka menaklukkan sebagian besar Armenia dan menerobos daerah Kaukus, menempatkan Garnizun di Tiflis. Di Timur mereka telah mencapai sungai Trans-Oxiana, mereka mnguasai Heart, Afganistan, melewati Mekran, Persia Tenggara dan perbatasan Asia Selatan.

Sampai akhir pemerintahan Khulafa’ al-Rashidin Islam hampir separuh dari wilayah kekaisaran Romawi dan Persia telah ditaklukkan. Pada masa pemerintahan bani Umayyah banyak dilakukan ekspansi ke berbagai wilayah. Utamanya ekspansi ke arah utara yaitu ke Syiria dan Mesir, yang nota bene merupakan kota-kota peninggalan peradaban Yunani.Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah,ekspansi-ekspansi Islam dilakukan ke berbagai daerah yaitu dua imperium besar Byzantium dan Sasania, menyebabkan terjadinya intereksi dan dinamisasi bahasa, tradisi budaya, yang cepat atau lambat tak terelakkan.Dialektika dan dinamisasi tersebut berimbas kepada praktis keberagaman,pemerintahan dan pengembangan keilmuan.

Bersamaan dengan itu,juga dilakukan penerjemahan terhadap ilmu pengetahuan ilmiah dan tehnik, diantara gagasan kedokteran , matematika, astronomi, dan filsafat Hellenistik.Disamping itu juga dilakukan penerjemahan terhadap pengetahuan praksis tentang tehnik pemerintahan, manajemen pertanian dan irigasi kedalam bahasa Arab. Karena didalam pemerintahan Abbasiyah banyak menempatkan kaum mawali khusus orang-orang Persia pada jabatan-jabatan strategis, bahkan banyak tradisi-tradisi dalam pemerintahan dan keilmuan yang ditransfer dari tradisi sistem pemerintahan Persia.

Pada masa kekhilafahan ‘Abbasiyah, cakupan keilmuan saat itu berkembang dengan pesat tidak hanya terbatas tidak hanya terbatas pada masalah teologi dan keagamaan,tapi juga berkisar pada filsafat, matematika, kedokteran dan lain sebagainya.Lengkapnya ,ciri keilmuan yang muncul saat itu antara lain,teologi dan keagamaan,sastra,sejarah,geografi,sufisme,kedokteran, matematika, astronomi, filsafat dan lainnya.

Hal tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya beberapa tokoh kenamaan. Misalnya di bidang teologi, al-Ash’ari (935) dan al-Maturidi (w.944). Di bidang sastra al-Jahiz (w.780) dan Ibnu Qutaibah (w.828). Dibidang sejarah dan geografi al-Baladhuri (w.820) dan al-Ya’qub (w.897). Di bidang sufisme, al- Muhasibi (w.857) dan Yazid al-Bust{ami (w.875) dan al-Hallaj (w.922). Di bidang kedokteran al-Razi (w.923) dan Ibnu Sina ( w.1037). Di bidang matematika dan astronomi, al-Khawrizmi (w.846) dan Ibnu Haitham ( w.1039) dan di bidang Filsafat al-Kindi ( w.881), al-Farabi ( w.870) dan Ibnu Sina (w.980).

- Hubungan Islam – Yunani

Sebenarnya interaksi Islam dengan peradaban Yunani, sebagaimana dijelaskan diatas, telah terjadi sejak masa al-Khulafa’ al-Rashidun. Namun interaksi tersebut semakin kuat dan tampak jelas wujudnya pada masa pemerintahan ‘Abbasiyah dan memberikan pengaruh yang tidak sedikit pada masa-masa setelahnya.

Penaklukkan Iskandariyah, termasuk Syiria dan Persia yang merupakan sentra Hellenisme, membawa Islam untuk bersentuhan dengan peradaban Yunani dan peradaban Timur Tengah lainnya seperti mistis Mesir, Phoenisia, Persia, Yahudi dan Kristen. Persentuhan Islam dengan tradisi Hellenistik ini pada akhirnya mempengaruhi cara dan gaya berfikir kaum muslimin. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap penyerapan tradisi hellenistik adalah booming terjemahan. Penerjemahan karya-karya berbahasa Suryani dan Yunani ke dalam bahasa Arab terjadi pada abad ke 8 Masehi. Terjemahan karya filsafat pertama dilakukan oleh sastrawan terkemuka saat itu, Abdullah Ibnu al-Muqaffa dan putranya Muhammad, yang mencakup Categories, Hermeneutica, dan Analytica Apriora karya Aristoteles pada masa Khalifah al- Mans{ur ( 754-773 M). Lalu ada Yahya bin al-Bitriq yang menerjemaahkan karya Plato yang berjudul Temaeus. Juga karya Aristoteles seperti; De Anima, Book of Animals, dan Secret of the secret.

Khalifah al-Makmun , mendirikan Bait al-Hikmah sebagai pusat perpustakaan dan terjemahan, sehingga lembaga ini tercata sebagai institute terbesar sepanjang sejarah penerjemahan karya-karya filsafat dan kedokteran Yunani. Dari beberapa buku yang diterjemahkan pada masa awal kedalam bahasa Arab, jelas terlihat didominasi oleh karya Aristoteles khususnya masalah logika. Hal ini disebabkan logika Aristoteles ( al-Mantiq al-Arist}o) dirasa cocok dan memang diperlukan kaum muslimin pada saat itu sebagai alat argumentasi.

Pasca penerjemahan ilmu-ilmu Yunani ke Arab, maka filsafat Yunani tidak asing lago dikalangan akademisi muslim. Para teolog muslim mengambil sebagian tradisi filsafat Yunani, yaitu filsafat ketuhanan dan logika Aristoteles sebagai dasar argumen teologi dan alat berdebat. Kemudian para filosof muslim murni seperti al-Kindi,al-Razi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail dan Ibnu Rushd, mengambil hampir semua tradisi Yunani yang dimodifikasi dengan ajaran islam.

- Hubungan Filsafat Islam Dengan Filsafat Yunani

Dilihat dari aspek sejarah, kelahiran ilmu Filsafat Islam dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Islam. Usaha ini melahirkan sejumlah filosof besar muslim. Dunia Islam belahan timur yang berpusat di Bagdad, Irak lebih dahulu melahirkan filosof muslim daripada dunia Islam belahan barat yang berpusat di Cordoba, Spanyol.
Memperkuat pernyataan diatas, Ahmad Salabi dan Louis Ma’luf menguraikan bahwa sejarah kebudayaan Islam mencatat, ilmu filsafat tidak diketahui oleh orang-orang Islam, kecuali setelah masa Daulah Abbasiyah pertama (132-232 H / 750-847 M). Ilmu ini ditransfer ke dunia Islam melalui penerjemahan dari buku-buku Filsafat Yunani yang telah tersebar di daerah-daerah Laut Putih seperti Iskandariah, Anthakian, dan Harran. Terlebih pada masa Al-Makmun yang dikenal sangat tertarik pada kemerdekaan berpikir, yang berkuasa antara 198-218 H / 813-833 M dan mengadakan hubungan kenegaraan dengan raja-raja Romawi, Bezantium yang beribu kota di Konstantinopel, yang juga dikenal dengan sebagai kota “Al-Hikmah”, pusat ilmu Filsafat. Dari kota ini, buku-buku filsafat diperoleh dan diterjemahkan sekalipun dari bahasa Suryani. Kegiatan penerjemahan ini disertai pula dengan uraian dan penjelasan seperlunya. Para cendikiawan ketika itu berusaha memasukkan Filsafat Yunani sebagai bagian dari metodologi dalam menjelaskan Islam, terutama akidah untuk melihat perlunya persesuaian antara wahyu dan akal.

Tentu saja, aktifitas para filosof di atas bersentuhan dengan penafsiran Al-Qur’an. Bahkan, kecenderungan menafsirkan Al-Qur’an secara filosofis besar sekali. Al-Kindi Misalnya, yang dikenal sebagai Bapak Filosof Arab dan Muslim, berpendapat bahwa untuk memahami Al-Qur’an dengan benar, isinya harus ditafsirkan secara rasional, bahkan filosofis. Al-Kindi berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang mengajak manusia untuk merenungkan peristiwa-peristiwa alam dan menyingkapkan makna yang lebih dalam di balik terbit-tenggelamnya matahari, berkembang-menyusutnya bulan, pasang-surutnya air laut dan seterusnya. Ajakan ini merupakan seruan untuk berfilsafat. Seperti halnya Al Kindi, Ibn Rusyd pun berpendapat demikian. Lebih jauh, Ibn Rusyd menyatakan bahwa tujuan dasar filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat benar. Dalam hal ini filsafat sesuai dengan agama, sebab tujuan agama pun tidak lain adalah menjamin pengetahuan yang benar bagi umat manusia dan menunjukkan jalan yang benar bagi kehidupan yang praktis.

Itulah sebabnya, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa sumber dan pangkal tolak filsafat dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun mempunyai dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri, filsafat banyak mengandung unsur-unsur dari luar, terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani.

Uraian di atas terlihat jelas bahwa di satu sisi, filsafat Islam berkembang setelah umat Islam memiliki hubungan interaksi dengan dunia Yunani, seperti yang telah disebutkan oleh Nurcholis Madjid, yang menyatakan bahwa pemakaian kata “filsafat” di dunia Islam digunakan untuk menerjemahkan kata “hikmah” yang ada dalam teks-teks keagamaan Islam, seperti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Nurcholis Madjid bahwa orang-orang Islam berkenalan dengan ajaran Aristoteles dalam bentuknya yang telah ditafsirkan dan diolah oleh orang-orang Syria, dan itu berarti masuknya unsur-unsur Neoplatonisme. Cukup menarik bahwa sebagian orang Islam begitu sadar tentang Aristoteles dan apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajarannya, namun mereka tidak sadar atau sedikit sekali mengetahui adanya unsur-unsur Neoplatonis di dalamnya. Ini menyebabkan sulitnya membedakan antara kedua unsur Hellenisme yang paling berpengaruh terhadap falsafah Islam itu karena memang terkait satu sama lainnya.

Sekalipun begitu, masih dapat dibenarkan melihat adanya pengaruh khas Neoplatonisme dalam dunia pemikiran Islam, seperti yang kelak muncul dengan jelas dalam berbagai paham tasawuf. Ibnu Sina misalnya, dapat dikatakan sebagai seorang Neo-platonis disebabkan ajarannya tentang mistik perjalanan rohani manuju Tuhan seperti yang dumuat dalam kitabnya, Isharat. Memang Neoplatonisme yang spiritualistik itu banyak mendapatkan jalan masuk ke dalam ajaran-ajaran Sufi, dan yang paling banyak menonjol adalah yang ada dalam ajaran sekelompok orang muslim yang menamakan diri mereka Ikhwan Ash-Shafa.
Demikian pula kita sepenuhnya dapat berbicara tentang pengaruh besar Aristoteles, yaitu dari sudut kenyataan bahwa kaum Muslim banyak memanfaatkan metode berfikir logis menurut logika formal (silogisme) Aristoteles ini, yaitu yang lebih dikenal dengan ilmu mantiq dikalangan umat Islam.

Akan tetapi mustahil melihat filsafat Islam sebagai carbon copy Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat variasi, semua pemikir Muslim berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dan karena itu mereka juga membangun berbagai teori tentang kenabian seperti yang dilakukan Ibnu Sina dengan risalahnya yang terkenal, Itsbat An-Nubuwwat. Mereka juga mencurahkan banyak tenaga untuk membahas kehidupan sesudah mati, suatu hal yang tidak terdapat padanya dalam Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada kaum Hellenis Kristen. Para Filosof Muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggung jawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinisme), asal usul penciptaan, dan seterusnya yang semua itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme.

Dengan demikian, tampak jelas adanya hubungan yang bersifat akomodatif bahwa filsafat Yunani memberi modal dasar dalam penelusuran berfikir yang ditopang sejatinya oleh Al-Qur’an sejak dulu. Secara teologis, dapat dikatakan bahwa sumber Al-Qur’an secara Azali telah ada, maka filsafat Yunani hanya sebagai pembuka, sementara bahan-bahannya sudah ada di dalam Al-Qur’an sebagai desain besar Allah Swt. Akan tetapi, persoalan yang muncul adalah Orisinilitas filsafat Islam, apakah ia mengekor atau pelopor.

Tidak adanya orisinilitas yang mengesankan pada pemikiran kefilsafatan Islam klasik tidak perlu mengherankan. Sebab para filosof klasik Islam, betapapun pengembaraan intelektualnya adalah orang-orang yang relegius. Mungkin tafsiran mereka atas beberapa noktah ajaran agama tidak dapat diterima oleh para ulama ortodoks, namun berbeda dengan rekan-rekan mereka di Eropa pada masa-masa Skolastik, Renaisans, dan modern, yang umumnya justru menolak atau meragukan agama. Para filosof muslim klasik ini berfilsafat tetap karena dorongan keagamaan, malahan seringkali justru untuk membela dan melindungi keimanan agama. Karena relegiusitas mereka, pemikiran spekulatif kefilsafatan terjadi hanya dalam batas-batas yang masih dibenarkan oleh agama, yang agama itu sendiri bagi mereka telah cukup rasional sebagaimana dituntut oleh filsafat.

Pernyataan-pernyataan di atas dikuatkan pula oleh Abdul Mun’im bahwa Islam adalah agama yang memberikan kebebasan dalam membicarakan filsafat, berbeda halnya dengan Kristen. Dengan demikian orang Arablah yang memberikan keutamaan dalam menyebarkan filsafat Yunani dan menyiarkannya ke penjuru dunia. Lebih terbuka lagi, dinyatakan oleh O’Leray, “Sekarang, kita mengikuti jalannya filsafat Hellenis. Dari Yunani ia mengalir ke dalam pengetahuan Syria Lama. Kemudian, ia berjalan dari orang-orang Syria ke dalam dunia kaum muslimin yang berbahasa Arab. Orang-orang Arab kemudian memasukkannya kembali, jauh ke tengah-tengah dunia Barat”.

Sampai disini, dapat dinyatakan bahwa hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani adalah sebagai pengembang dan penerus sekaligus pelopor filsafat yang bercorak Islam yang disebarkan ke berbagai dunia Barat.   

Suatu kebenaran yang tidak dapat ditolak adalah pengaruh peradaban Yunani, Persia dan India. Diantara ilmu-ilmu India yang besar pengaruhnya kepada intelektual Islam adalah ilmu hitung, astronomi, ilmu kedokteran dan matematika dengan angka-angka yang oleh orang Arab disebut dengan angka India dan oleh orang Eropa dikenal dengan angka Arab. Sedangkan dari Persia terdapat ilmu bumi, astronomi, logika filsafat, ilmu ukur, kedokteran, seni dan sastra.

Pemasukan pengaruh Persia, yang dinilai lebih besar daripada pengaruh India, ke dalam Islam melalui Baghdad, berada di lingkungan Persia sebagai ganti ibu kota sebelumnya, Damshik. Menurut Harun Nasution peranan yang besar dalam hal ini ialah kelurga Barmak yang turun temurun menjadi menteri, gubernur, dan sekretaris khalifah mulai dari zaman al-Saffah (750-754) sampai dengan al-Makmun (813-833).

Akan tetapi, pengaruh terbesar yang diterima umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat, menurut Ahmad Amin, adalah dari Yunani. Karena kontak umat Islam dengan peradaban Yunani bersamaan waktunya dengan penulisan ilmu-ilmu Islam. Logika Yunani mempunyai pengaruh besar pada alam pemikiran saat itu.

Perlu ditegaskan bahwa pengaruh bukan berarti plagiat. Betapa banyak para filosof baik Islam maupun non Islam terpengaruh oleh pemikiran filosof sebelumnya, namun mereka tidak menyandang predikat plagiator atau penjiplak. Filosof Amsterdam, Belanda, Burch De Spinoza (1632-1677) dikenal sebagai pengikut Bapak Filsafat modern asal Prancis, Rene Descartes ( 1596- 1650). Demikian pula filosof Muslim Ibnu Sina walaupun terpengaruh berat oleh Aristoteles, tetapi ia juga memiliki pemikiran filsafat sendiri, yang tidak dimiliki oleh mu’allim al-Awwal, Aristoteles sendiri.

Secara karakteristik , filsafat Islam menurut Sirajuddin Zar dirangkum menjadi tiga;

1)      Filsafat Islam membahas masalah yang sudah pernah dibahas filsafat Yunani dan lainnya, seperti ketuhanan, alam dan ruh. Akan tetapi, selain penyelesaian dalam filsafat Islam berbeda dengan filsafat lain, para filosof Muslim juga menambahkan dan mengembangkan ke dalamnya hasil-hasil pemikiran mereka sendiri.
2)      Filsafat Islam membahas masalah yang belum yang belum pernah dibahas sebelumnya seperti Filsafat Kenabian ( al-Naz}ariyat al-Nubuwat).
3)      Dalam filsafat Islam terdapat pemanduan antara agama dan filsafat, antara aqidah dan hikmah, antara wahtu dan akal. Bentuk seperti ini banyak terlihat dalam pemikiran filosof Muslim seperti; al- Madinat al-Fad{ilat (Negara Utama) dalam filsafat al-Farabi: bahwa yang menjadi kepala Negara adalah nabi atau filosof . Begitu juga pendapat al-Farabi pada filsafat kenabian: bahwa Nabi dan Filosof adalah sama-sama menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Akal Aktif ( Akal X). Akan tetapi, berbeda hanya dari segi tehnik, Filosof melalui Akal Perolehan (Mustafad) dengan latihan-latihan, sedangkan Nabi dengan akal Had yang memiliki daya yang kuat (al-Qudsiyat) jauh kekuatannya melebihi akal Mustafad filosof. Akal had Nabi berasal dari Allah, hal itu diperoleh bukan berdasarkan latihan-latihan berpikir. Oleh karena itu , pengetahuan diperoleh para nabi (wahyu) tidak mungkin bertentangan dengan pengetahuan yang diperoleh para filosof.

Jelas bahwa filsafat Islam benar-benar ada dan bukan plagiat dari filsafat Yunani. Kalau dilacak dari akar sejarahnya , pandangan Islam tentang Filsafat tumbuh besamaan munculnya Islam itu sendiri. Ketika rasulullah SAW menerima wahyu yang pertama , yang mula-mula diperintahkan kepadanya adalah ‘ membaca’. Dari kata Iqra’ inilah lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti,mengetahui ciri sesuatu dan membaca teks baik yang tersurat maupun tersirat.

Jadi yang disebut filsafat Islam adalah perkembangan pemikiran umat islam dalam masalah ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam semesta yang disinari ajaran Islam. Adapun difinisinya secara khusus seperti apa yang dikemukakan penulis islam sebagai berikut :
Ibrahim Madkur, Filsafat Islam adalah pemikiran yang lahir dalam dunia Islam untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat.
Ahmad Fu’ad al-Ahwani. Filsafat Islam adalah pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam.

M. ‘Atif al-‘Iraqi. Filsafat Islam secara umum didalamnya tercakup ilmu kalam, ilmu usul fiqih, ilmu tasawuf, dan ilmu pengetahuan lainnya yang diciptakan oleh intelektual Islam. Pengertiannya secara khusus, ialah pokok-pokok atau dasar-dasar pemikiran filosofis yang dikemukakan para filosof Muslim.

- Orisinilitas dan Otentisitas Filsafat Islam

Sejarawan Islam abad pertengahan, Ibnu Khladun (w.708 H/1406 m), mengakui adanya unsur Yunani dalam filsfat Islam. Ia menganalisa filsafat di dunia Arab dengan pendekatan sosiologis. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat Arab sebenarnya tidak memiliki kemampuan berfilsafat karena keseharian mereka disibukkan dengan urusan pengaturan dan pembelaan negara. Filsafat masuk ke dalam Islam di Barat (Andalusia), Abu Said al-Andalusi dalam kitabnya Thabaqatul umam, ia mangatakan masyarakat Arab adalah masyarakat sederhana yang tidak mampu berfilsafat. Bedanya adalah ia yang berasal dari Barat cenderung rasis dalam menganalisa permasalahan. Said menyimpulkan bahwa dalam tradisi Arab hanya dikenal dua orang filosof, yaitu Al-Kindi dan al-hamdani, sementara filosof lainnya berasal dari Barat. Pandangan rasis said inilah yang tampaknya di kemudian hari mempengaruhi tesa Ernest Renan dalam membagi fikiran manusia berdasarkan ras.

Dalam ranah pemikiran kontemporer, hampir semua ajaran Islam yang menekuni bidang filsafat juga mengakui bahwa filsafat Islam menerima banyak pengaruh dari peradaban luar, tidak saja dari Yunani. Mustafa Abdul Raziq misalnya menganggap bahwa keterpengaruhan adalah sebuah bentuk aksioma dari sejarah peradaban manapun. Tidak ada yang perlu diperdebatkan bahwa semua peradaban tidak luput dari pengaruh dan pengalaman peradaban sebelumnya. Termasuk juga didalamnya peradaban Yunani.

Permasalahan yang muncul sebenarnya adalah pada bentuk metode orisinil (manhaj ashil) milik peradaban tersebut. Mustafa Abdul Raziq membuat pendekatan baru dalam meneliti orisinilitas filasfat dalam peradaban Islam. Untuk menghasilkan konklusi yang lebih berkesesuaian dengan realitas, ia mengajak para pengkaji filsafat Islam untuk terlebih dahulu meneliti sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran filosofis (al nazhar al-aqliy) dalam Islam sesungguhnya dimulai dalam sejarah tasyri’ tersebut. Jika ditelusuri sejarah ini, maka geneologi filsafat dalam Islam sesungguhnya sudah dumulai sejak munculnya ijtihad fiqih. Ijtihad merupakan usaha untuk memfungsikan peran akal dalam bimbingan wahyu adalah terma yang paling mewakili untuk menampilkan metode Islam yang orisinil dalam filsafat dan tidak terkontaminasi peradaban lain.

Pemikiran filosofis didunia Arab diakui oleh Mustafa sebenarnya sudah ada sejak masa pra Islam. Akan tetapi sejak kemunculan Islam pemikiran tersebut lebih terarahkan karena mendapatkan banyak dukungan dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Di dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang berisi ajakan agar manusia menggunakan akal fikiran dan perintah agar merenungkan setiap fenomena yang ditemui oleh akal fikiran. Al-qur’an dan Sunnah juga mengajarkan agar akal fikiran digunakan untuk mencerna dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri. Mustafa Abdul Raziq kemudian sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Ushul fiqih dan Ilmu kalam adalah dua disiplin ilmu orisinil dalam Islam yang merupakan bentuk modifikasi dari nash-nash al-Qur’an daaaaan as-Sunnah yang dipahami secara filosofis oleh umat Islam, sehingga menjadi bagian ilmu filsafat dalam Islam.

Ibrahim Madkour juga memulai kajian di bidang filsafat Islam dengan terlebih dahulu membuat pengakuan bahwa filsafat adalah fenomena generik (al-zhahirah al-insaniyyah) di mana keterpengaruhan bukanlah sebuah aib bagi sebuah peradaban. Setelah itu Ibrahim Madkour juga mengatakan bahwa sebesar apapun filsafat asing melakukan inflitrasi ke dalam peradaban Islam, umat Islam tetap mampu membuat ciri yang khas dan independen.

Secara umum ada tiga metode yang digunakan oleh Ibrahim Madkour dalam mengkaji otentisitas dan otoritas filsafat Islam. Pertama, metode historis (mutaba’atu sair) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber sejarah yang berupa teks-teks klasik karya para filosof Islam. Kedua, dengan melakukan komparasi (muqaranah) antara pemikiran Islam dengan pemikiran lainnya, baik sebelum ataupun sesudah Islam. Ketiga, dengan membuat teori ketersambungan filsafat, dimana Islam adalah salah satu mata rantai dari sejarah panjang filsafat.

Ibrahim Makour mengaplikasikan tiga metode ini dengan mengangkat lima nazhariyah (teori) yang pernah muncul di filsafat Islam. Teori pertama, adalah tentang kebahagiaan. Teori kedua, tentang kenabian. Teori ketiga tentang nafs. Teori keempat, tentang ketuhanan. Teori kelima, tentang kebebasan berkehendak.
Penelitian Ibarahim Madkour terhadap lima teori ini mengahasilkan kesimpulan bahwa filsafat Islam adalah filsafat yang ekletis (al-tawfiq) dan sinkretis (al-ikhtiar). Filsafat Islam bisa melakuka harmonisasi antara akal (aql) dan periwayatan (naql), dan juga antara filsafat dengan agama. Filsafat Islam memiliki karakter yang bebas menentukan pilihan sepanjang sesuai dengan ruh islami. Filsafat Islam juga mampu memadukan antara karya filosof Barat (Yunani) dengan Filsafat Timur (India dan Persia) di bidang kedokteran dan perhitungan. filsafat Islam juga mampu memadukan antara Aristoteles dan plato.

Filsafat Islam menurut Ibrahim Madkour adalah filsafat yang progresif dan mampu melampaui para periode sebelumnya. Sebagai sebuah bagian dari mata rantai filsafat, Islam mampu memanfaatkan warisan (legacy) peradaban-peradaban kuno, Islam mampu membentangkan jalan bagi lahirnya peradaban-peradaban yang datang sesudahnya. Islam lah yang membangkitkan filsafat Yahudi dan Nasrani dari kubur (marqad) mereka masing-masing.

Dalam karyanya The Rocontruction of Religion Thought in Islam  Muhamamad iqbal juga berkesimpulan bahwa filsafat Islam lah yang menjadi pemasok bagi pemikiran filsfat abad pertengahan dan abad modern. Pemikir semisal Roger Baicon adalah contoh filosof Barat yang terpengaruh dengan Manhaj Tajribiy (metode impiris) yang dikembangkan di dunia Islam.

Masalah orisinilitas filsafat Islam juga dikaji oleh tokoh Ali Sami an-Nasyar. Sepanjang hayatnya adalah dipergunakan untuk membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak pernah berhutang dengan peradaban Yunani. Ia mengarang trilogi Nasyatul Fikril Falsafi fil Islam yang berisikan pandangan-pandangan barunya mengenai wujud filsafat Islam. Menurut Ali Sami an-Nasyar, filosof Islam adalah mereka yang menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai muntalaq pemikirannya, bukan dari karya bangsa Yunani. Walhasil filosof Islam dalam perspektif Ali adalah Fuqaha, mutashawwifun, dan Mutakallimun.

Jika megacu kepada al-Qur’an, jelas tidak benar jika Islam dituduh tidak mampu membuat kreasi dan mendatangkan hal baru di hadapan konsep-konsep filsafat Yunani. Sebab al-Qur’an telah banyak berbicara tentang Tuhan, manusia, alam semesta dan moralitas yang sama sekali berbeda dengan yang pernah difikirkan oleh bangsa Yunani. Tidak benar juga jika Islam dituduh sebagai agama yang tidak mampu memberikan seperangkat sistem berfikir yang filosofis, sebab Islam adalah agama yang menghormati akal. Sebegaimana disebutkan dalam surat al-Jatsiyah ayat 13, yang artinya:
             “Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.

Dari beberapa uraian dan pendapat para pakar filsafat tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam bukanlah filsafat Yunani. Filsafat Islam mempunyai orisinilitas dan otentisitas tersendiri yang berbeda dengan filsafat Yunani. Memang betul dalam beberapa hal filsafat Islam ada yang terpengaruh dari pemikiran Yunani dan peradaban lainnya, namun itu tidak menghilangkan ciri keislamannya, yaitu berupa pandangan hidup yang bersumber dari al-Qur’an dan As-Sunnah.

b. Mengidentifikasi Pergulatan Para Tokoh Muslim Dalam Invasi Pemikiran  Kedalam Dunia Islam

Kelahiran kaum rasionalis Islam, mu’tazilah yang banyak memakai akal tidak dapat lepas dari pengaruh besar Aristoteleanisme, terutama dalam pengunaan penalaran logis menurut logika Aristoteles, yang menurut Ibrahim Madkour, mu’tazilah adalah peletak ilmu kalam (teologi) yang sesungguhnya, karena ia telah membahas persoalan-persoalan teologi dengan lebih mendalam dan bersifat filosofis.

Akan tetapi al-Kindi (185/801-260 H/873M) adalah failosuf pertama yang memprakasai proses perumusan vokabuler teknis falsafah dalam Islam, dan melakukan sorotan-sorotan terhadap falsafah dengan ajaran-ajaran Islam. Al-Kindi telah mengatakan gagasan-gagasan baru dalam mendamaikan atau mamadukan atau mengharmonisasikan atau memadukan warisan Aristoteles dengan ajaran-ajaran Islam. Usaha pemaduan atau pengharmonisasian antara falsafah dan agama untuk jangka lama menjadi  ciri utama   falsafah dalam Islam.

Di atas sudah disebutkan bahwa al-Ma’mun telah memprakarsai secara besar-besaran Helenisasi di dunia Islam. ia mendukung aliran Mu’tazilah yang lebih dekat kepada para failosuf. akan tetapi setelah al-Ma’mun  meninggal dunia, kekhalifahan digantikan oleh al-Mutawakkil (w.247H.), maka ia mendukung para ulama sunni dan menentang kaum rasionalitas Islam. Al-Kindi sendiri, menurut Ibn Abi Ushaibi’ah, pernah disakiti karena pekerjaanya mengembangkan pemikiran falsafah. Dengan disakiti itu al-Kindi bukannya menjadi jera, malahan menjadi bertambah gigih mempertahankan falsafah. Al-Kindi sungguh yakin bahwa falsafah adalah ilmu yang mengetahui tentang kehakekatan sesuatu, ia adalah tugas manusia yang paling tinggi dan mulia serta paling tinggi martabatnya.

Kalau orang-orang Yunani telah membukakan dan memudahkan  jalan bagi kita untuk mencari hakekat yang tersembunyi, seharusnya kita berterimakasih kepada mereka yang telah bersungguh-sungguh mencari kebenaran itu, bukannya harus  memberikan celaan dan makian, kata al-Kindi. Al-Kindi benar-benar yakin bahwa antara filsafat dan agama selalu harmonis, dan tidak pernah bertentangan, karena akal dan wahyu sama-sama bersumber dari Tuhan.

Usaha al-kindi kemudian secara intensif dilanjutkan oleh al-Farabi (258/870-339H/950M) yang membuat dasar falsafah Aristoteleanisme menjadi kukuh dalam Islam. Al-Farabi, sebagai yang dikenal dengan “guru kedua”, begitu yakin dengan kebenaran falsafah, sehingga ia mengatakan bahwa kebenaran yang dibawa failosuf  sebenarnya adalah satu dan sama. Falsafah Plato dan Aristoteles sebenarnya adalah sama, yang berbeda hanya berbentuk lahirnya saja, demikian juga pada hakekatnya ajaran antara para failosuf dan para nabi adalah sama, dan tidak bertentangan.

Akan tetapi eksponen Islam yang terbesarnya adalah Ibnu Sina (980-1037 M). Ia mengarah ke suatu filsafat yang berdasarkan penggunaan logika dan bertumpu pada hakekatnya pada metode syllogis Aristoteles dan berupaya mencapai kebenaran dengn argumen berdasarkan nalar. Baginya tidak ada yang tidak dapat dikaji oleh akal, harta alam metafisik, alam gaib, atau masalah ketuhanan, karena antara failosuf dan  nabi  tidak akan berbeda, sebab setiap nabi adalah failosuf. Hal inilah yang dipersalahkan oleh al-ghazali (450/1058-505H/1111M). Al-Ghazali menyerang tendensirasionalistis yang inheren dalam falsafah Aristoteles dan menuduh para failosuf, terutama al-Farabi dan Ibnu Sina, telah membuat banyak kesalahan dengan logika mereka, terutama dalam masalah metafisika (ketuhanan). Sampai-sampai al-Ghazali mengkafirkan para failosuf  dalam masalah ini. dengan serangannya itu ia berhasil mengurangi pengaruh filsafat Aristoteleanisme di dunia Islam, khususnya dikalangan sunni, dan mengandung danpak negatif. Sungguh al-Ghazali sendiri sebenarnya masih menghalalkan dan memakai logika Aristoteles, namun dalam ketentuan yang terbatas.

Aspek rasionalistis falsafah Aristoteles mencapai puncaknya pada Ibnu Rusyd (520/1126-595 H./1198 M). Ia merupakan tokoh yang paling berpaham Aristoteles dikalangan paripatetik muslim. Puncak kesempurnaan yang dicapai oleh Ibnu Rusyd adalah usahanya dalam memadukan antara falsafah dan agama. Bahkan ia berpendapat bahwa agama Islam secara inheren adalah agama yang filosofis, karena agama mewajibkan kita berfalsafah.

Ibnu Rusyd diakui sebagai pengikut termurni Aristoteles di antara failosuf muslim. Ia adalah komentator terbesar abad pertengahan tentang Aristoteles. St. Tomas menyebutnya “sang komentator” dan Dante menamakannya orang yang membuat komentar hebat”. H.A. Walfson menyebutnya “seorang ahli terkemuka tentang falsafah abad petengahan  dan khususnya perihal Aristoteles”. Gelar-gelar ini memang tepat untuknya, karena ia telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengembalikan falsafah  Aristoteles kepada kemurniannya yang semula, setelah falsafah itu sampai ketangan orang-orang Islam bercampur dengan berbagai aliran berfalsaafat, dan berbagai fikiran dan pemahaman.

Memang disadiri bahwa Ibnu Rusyd adalah seorang Aristotelean yang dapat dikatakan sangat mengaguminya dan pengikut yang setia. Ibnu Sab’in menyebutkan bahwa Ibnu Rusyd mengikuti pemikiran Aristoteles dengan penuh kesadaran, dengan akal dan perasaan, seolah-olah Aristoteles adalah seorang laki-laki yang bersifat ilahi. (nabi, pen.) yang tidak pernah bersalah.

Didalam pengantar kaitan fisika (al-Tabi’iyat) Ibnu Rusyd mengatakan: “pengarang kitab ini Aristoteles, failosuf Yunani yang paling agung dan jenius. Peletak pertama ilmu logika, fisika, dan metafisika, dan sekaligus dengan cara yang paling sempurna, yang tidak pernah dicapai oleh para failosuf sebelum dan sesudahnya. Orang yang datang sesudahnya tidak dapat berbuat sesuatu melebihi Aristoteles, dan orang selalu mengambil darinya. Sampai saat ini (masa Ibnu Rusyd, pen.) orang tidak pernah menambahkan sesuatu yang baru dan tidak  pernah menemukan sesuatu yang salah dan  keliru  dari Aristoteles  Aristoteles. Ini sungguh aneh dan luar biasa, mu’jijat. Kata Ibnu Rusyd, karena semua ilmu ini (logika, fisika dan metafisika) telah berkumpul pada diri satu orang. Karena diistimwakannya itu  ia lebih pantas  disebut sebagai seorang pribadi yang bersifat illahi ketimbang pribadi manusiawi.

Malahan lebih lanjut lagi Ibnu Rusyd mengatakan, bahwa ajaran Aristoteles adalah kebenaran tertinggi (al-Haqq al-a’la) dan sesuatu tertinggi yang pernah tercapai oleh seorang manusia peripurna. Ajarannya adalah kebenaran obsolut (al-haqiqah al-muthlaqah), yaitu yang pernah dicapai oleh tingkatan akal manusia yang tertinggi. Aristoteles termasuk orang yang disebutkan dalam firman Allah (al-haddid, 57:21)” itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada yang dikehendaki-Nya.

Memang Ibnu Rusyd, dilihat dari suatu pandangan sejarah falsafah di Eropa Barat, dianggap sebagai penafsiran Aristoteles yang terbesar disepanjang masa. Ibnu Rusyd menjadi sumber-sumber utama Aristoteleanisme abad pertengahan. Dan untuk jangka waktu lama ia dipandang sebagai pemikir muslim yang paling besra pengaruhnya di Barat. Keyatannya, sebagian besar karyanya yang masih ada waktu ini adalah versi Latin dan Ibrani, bukan dalam bahasa Arab. Demikian juga lahir suatu gerakan yang terkenal dengan “Latin Averroist”.

 Jika sepeninggal Ibnu Rusyd, falsafahnya tidak mendapat penghargaan yang wajar dari dunia Islam sendiri, namun dalam lingkungan Yahudi dan Kristen memberikan penghargaan yang tingi-tingginya terhadap Ibnu Rusyd dan berkembang menjadi salah satu bahan pokok pembangkitan intelektual di dunia Eropa. Jika didunia Barat banyak sekali yang tercatat sebagai murid dan pengikut Ibn Rusyd, seperti Maimonides seorang Yahudi, Josep ibn Judah muridnya, Siger de Brabat dan lain-lain, maka di dunia Islam Ibn Rusyd hampir tidak mempunyai murid atau penerusnya.

Kenyataan bahwa kaum muslim banyak memanfaatkan metode berfikir logis menurut logika formal (sillogisme) Aristoteles,  cukup sebagai bukti betapa jauhnya ajaran Aristoteles dikalangan orang-orang Islam. Hingga sampai saat ini logika Aristoteles tetap merupakan ajaran pokok dalam pesantren-pesantren dan perguruan tinggi. Pengaruhnya tidak hanya terbatas dikalangan failosuf dan teolog, tetapi juga masuk kedalam ulama dan tafsir. Disamping banyak yang terpengaruh oleh Aristoteleanisme, terdapat pula orang-orang yang kontra terhadapnya, yaitu dari kalangan bahasa, Ibn Taimiyah , Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Syuhrawardi dan lain-lain.

Memang tidak ada alasan untuk  mengatakan bahwa pemikiran Islam tidak mengenal pengaruh dari pemikiran  Yunani dan lainnya, tapi bagi orang Islam pemikiran Yunani bukan hanya satu-satunya yang mereka miliki, di samping itu mereka juga memiliki al-Quran, yang oleh Ibn Rusyd disebutkan bahwa, kitab yang secara inheren mengandung nilai-nilai filosofis, karena al-Quran mengajarkan pada kita berfilsafat. Akal dan wahyu akan selalu sejalan  dan harmonis, tidak bertentangan, sebab akal adalah pemberian Tuhan, ia merupakan suatu kebenaran, wahyu juga pemberian Tuhan, juga suatu kebenaran; maka kebenaran itu tidak akan bertentangan dengan kebenaran, malah saling menguatkan dan mengokohkan.

Kita tidak menolak bahwa  pemikiran falsafah Islam terpengaruh oleh falsafah Yunani, para filosof muslim meminjam sebagian besar pandangannya dari Plato, Aristoteles, Neo Platonisme dan lain-lain. Akan tetapi kita juga bertanya, siapakah yang tidak pernah menjadi murid dari orang yang mendahuluinya dan tidak terkena pengaruh dari para pendahulunya? Kita saja generasi abad ke-20 selalu menggantungkan diri kita dalam banyak hal kepada kajian Yunani dan Rumawi. Tentu saja benar-benar salah dan keliru jika kita berpendapat bahwa  belajar dan berpengaruh dari pendahulu kita adalah meniru dan membebek semata-mata, dan mengatakan bahwa falsafah Islam hanyalah copy naskah yang dinukil dari Aristoteleanisme, Neo Platonisme, dll.

Transformasi dan peminjaman beberapa pemikiran tidak harus mengkonsekwensikan perbudakan dan perhambatan. Maka satu ide dapat dibahas oleh banyak orang, dan tidak lama segera tanpil atas prakasa mereka di dalam berbagai macam fenomena. Seorang failosuf berhak mengambil pandangan orang lain, tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk membawa teori-teori dan falsafahnya sendiri. Spinoza, misalnya, walaupun dengan secara jelas sebagai pengikut Deskrates, tetapi ia dianggap memiliki pandangan-pandangan filosofis yang berdiri sendiri. Begitu pula kaum rasionalis Islam, para teolog dan failosuf, walaupun sebagai murid yang murni dari Aristoteles atau Neo Platonisme, tetapi mereka mempunyai pandangan tersendiri yang tidak pernah dikatakan oleh failosuf Yunani.

Banyak persoalan pokok falsafat yang tidak terdapat dalam falsafat Yunani mendapatkan pembahasan pokok dalam falsafat Islam. Kaum rasionalis Islam, para teolog dan failosuf, disamping membahas persoalan falsafat dan agama secara terpadu, mereka juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggung jawab pribadi dihadapan Tuhan, kebebasan dan keterpaksaan (determenisme), kehidupan sesudah mati, surga dan neraka, teori tentang kenabian, mu’jizat. Asal-usul penciptaan, dsb., yang kesemuannya itu bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa  dalam hellenisme.  Dalam artian, bahwa dalam suatu pinjaman dan utang dari pemikiran asing dengan cara yang selectif adalah logis dan wajar, tetapi kemudian kaum rasionalis Islam melestarikan dan mengembangkannya, yang kalau  tidak karena mereka tentu peradaban Yunani itu menjadi hilang ditelan masa dan tidak akan ada orang yang mengenalinya secara baik pada saat ini. Karena merekalah yang mewariskan peradaban Yunani itu kepada generasi yang akan datang sesudahnya. Di samping itu persoalan-persoalan baru yang mereka bahas, yang tidak terdapat pada peradaban asing, telah merupakan sumbangan yang tidak ternilai artinya terhadap peradaban umat manusia.


Kesimpulan dan Saran
 
Hari ini kita telah berfilsafat, besok kita berfilsafat, entah kapan berakhirnya, Semua orang berfilsafat, dan kita telah membuktikan bahwa filsafat Islam telah dikenal luas dalam pemikiran peradaban manusia baik di kalangan Islam sendiri maupun dimancanegara . Sebagaimana filsafat lain, Filsafat Islam memiliki posisi yang amat penting dalam dunia pemikiran filsafat. Bahkan orang Barat tidak akan mengenal filsafat juga sains tanpa kontribusi Islam, terutama pemikiran rasionalistik Ibnu Rushd yang menjadi motifasi timbulnya renaisans di Eropa yang kemudian membuat kemajuan Barat sekarang.

Makalah ini akan ada artinya jika kita yang hidup hari ini mampu menangkap sinyal yang diisyaratkan oleh para filosof Islam juga saintisnya dan mengaplikasikannya dengan kondisi kekenian. Mengenal filsafat Islam, berarti kita harus mampu menyelaminya. Pemakalah ingin menutup makalah ini mengutip ungkapan seorang filosof seperti yang tertera dalam kitab al- Falsafah fi Athariha al-Tarikhi oleh Taufiq Tawil ;
“ Saya bukanlah seorang ahli pengetahuan , karena ahli pengetahuan itu khusus untuk Tuhan saja, saya adalah seorang Filosof , yakni pencinta ilmu pengetahuan”

Dari berbagai uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah suatu ilmu yang didalamnya terdapat ajaran Islam dalam membahas hakikat kebenaran segala sesuatu. Filsafat Islam adalah filsafat yang diterapkan berdasarkan pada hukum Islam. Ia  merupakan filsafat khusus dan objeknya tertentu, yaitu hukum Islam.

Adapun hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani adalah sebagai pengembang, penerus sekaligus pelopor filsafat yang bercorak Islam. Filsafat Islam itu lahir karena dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Islam, yakni pada masa Khalifah Abbasiyah.

Filsafat Islam mempunyai orisinilitas dan otentisitas tersendiri yang berbeda dengan filsafat Yunani. Memang betul dalam beberapa hal filsafat Islam ada yang terpengaruh dari pemikiran Yunani dan peradaban lainnya, namun itu tidak menghilangkan ciri keislamannya, yaitu berupa pandangan hidup yang bersumber dari al-Qur’an dan As-Sunnah.

Jika megacu kepada al-Qur’an, jelas tidak benar jika Islam dituduh tidak mampu membuat kreasi dan mendatangkan hal baru di hadapan konsep-konsep filsafat Yunani. Sebab al-Qur’an telah banyak berbicara tentang Tuhan, manusia, alam semesta dan moralitas yang sama sekali berbeda dengan yang pernah difikirkan oleh bangsa Yunani.


DAFTAR PUSTAKA

R. Slamet Imam Santoso. 1977. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Sastra Hudaya

Bertrand Russell. 1974. History of Western Philosophy, London: George Allen/Unwin LTD
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, 1978.

Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, Kairo

M. Abd al-Sattan Nasr, al-Madrasah al-Salafiyah wa Mauqif Rijaluha min al-Manthiq, (Kairo: Dar al-Anshar, 1976)

Jalal al-Din al-Sayuthiy, Shaun al-Manthiq wa al-Kalam, ed. Ali Sami al- Nasysyar,  (Kairo: Tanpa Penerbit, 1947)

Ali Sami al-Nasysyar,  Manahijal-Bahts inda Muffairi al-Islam (Kairo: Dar al-Ma’rif, 1978)

Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, Ter. (jakarta:Pustaka Jaya, 1986)

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat I. (jakaera:Pustaka Jaya, 1986)

Muhammad Yusuf Musa, Bain al-Din wa al-Falsafah, (Mesir: Dal al-Ma’arif, 1968)

Djemil Shaliba, Min Aflaton ila Ibn Sina, (Bairut: Dar al-Andalas, 1981)

De lacy O’ Leary, D.D., How Greek Science Passed to the Arab, (London: 1957)

Ali Sami al-Nasysyar, Manajih, h. 31. Lihat juga T.j De Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York: Dover Publication, Inc., 1967)

Nuchalis madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992)

Djemil Shaliba, Tarekh al-Falsafah al-Arabiyah, (Bairut: Dar al-Kitab a-Libnaniy, 1973)

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalamIslam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978)

Ibn al-Nadin, Al-Fihrist, (Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1978)

George N. Attyeh, Al-Kindi Tokoh Failosuf  Muslim, (Bandung: Pustaka, 1983)

Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah II, (Mesir Dar al-Ma’arif, 1976)

Seyyed Hossen Nasr, Science and Civilization in Islam, (Massachusetts: Cambridge, 1968)

Usaha pemaduan al-Kindi  ini lebih jauh dapat dilihat pada M. ‘Atif al-iragi, Mazhab Falasifah al-Masyriq, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1978)

Dalam hal ini al-Farabi menulis sebuah buku khusus yang bernama: Kitab al-Jam’u Batin Ra’yi al-Hikimain.

Harun Nasution, Falsafah

Ibn Rusyd, Fashl al-Maqam fi ma bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, ed. M. Emara (Kairo: Dar al-Mairrif 1972)

Djemil Shaliba, Min Aflaton ila Ibn Sina

Ernest Renan, Ibn Rustd wa al-Rusydiyah, terj. Adil Zu’aitir (Kairo:Isa al-Babi al-Halabi, 1957)

Nurcholis Madjid, ed., Khasanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1948)

Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah-I,

Muzairi. 2009. Filsafat Umum. Yogyakarta: Teras

Akhyar Yusuf Lubeis. 2011. Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan. Depok: Koekoesan

Mustofa. 2009.Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia

http://taufikrahmatullah.wordpress.com/2013/01/07/perbedaan-mendasar-filsafat-islam-dan-barat_/ 20:00 wib /21/04/214

A. Mustofa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2009

Dedi Supriyadi, Filsafat Islam; Konsep, Filosof dan Ajarannya, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2009

Nurcholish Madjid, “Memahami Hikmah dalam Agama” dalam Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, Mediacita, Jakarta, 2000

Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cet.II, 1978,

Abudin Nata, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994,

De Lacy O’Leary, How Greek Science Passed to the Arab, Routledge, London, cet. III. 1957,

Bertold Spuler, The Muslim World, E.J Brill, Leiden, 1960.

Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, Pustaka, Bandung, cet. I, 1986.

Abudin Nata, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf

Moh Ridwan Assegaf, Antara Kebudayaan Timur Islam dan Barat, Yayasan Obor, Jakarta, 1989

Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Iklam, Dar Al-Fikr, Beirut, 1973.

http://www.google.com/url?q=http://anongscolection.files.wordpress.com/2012/01/hubungan-filsafat-islam-dengan-filsafat-yunani.doc&sa=U&ei=2VhWU_rnlePtiAfjgoG4Cw&ved=OCBYQFjAAOAo&usg=AFQjCNGPLLuXFPJaXrCUSkZi61042uOi2g 19:00/22/04/2014

0 komentar:

Posting Komentar