Music

Pages

Jumat, 14 Agustus 2015

EKONOMI ISLAM UNTUK DUNIA YANG LEBIH BAIK



Pendahuluan


Krisis ekonomi gobal (global leconomic crisis) yang terjadi di akhir tahun 2008 ternyata masih menyisakan problem yang belum dapat dipecahkan sampai saat ini. Amerika Serikat sebagai sumber kemunculan krisis ternyata masih disibukkan dengan proses restrukturisasi dan reorganisasi kebijakan stabilitas ekonomi, selain itu negara Eropa yang pada saat terjadi krisis tiga tahun lalu tidak terlalu signifikan terkena pengaruhnya justru mengalami ‘radang dan meriang’ di sepanjang tahun 2011 dan 2012. Sebut saja Yunani dengan krisis ekonomi karena hutang yang ‘over’, Spanyol dan Italia dengan pengangguran terbuka yang semakin meningkat, Portugal dan Irlandia mengalami degradasi kepercayaan terhadap mata uang euro yang digunakannya, dan sejumlah negara-negara Eropa kehilangan inner beauty-nya dalam menarik Foreign Direct Investment (FDI) dari para investor. Data dan fakta ini menegaskan kedigdayaan krisis ekonomi yang masih belum dapat diselesaikan dari sejak tiga tahun yang lalu, sekaligus menambah rekor panjang krisis sepanjang abad 20 ini.

Dalam proses menyelesaikan masalah tersebut, para pemimpin Negara di dunia sibuk mengeluarkan paket penyelamatan krisis dengan total dana yang tidak tanggung-tanggung yaitu sebesar 3.4 triliun dolar AS (AS: 700 miliar dolar; Inggris: 691 miliar dolar; Jerman: 680 miliar dolar; Irlandia: 544 miliar dolar; Prancis: 492 miliar dolar; Rusia: 200 miliar dolar dan negara-negara Asia: 80 miliar dolar! (Kompas 26/10). Namun Kenyataannya, sampai saat ini kondisi ekonomi masih terus memburuk. Indeks harga saham di bursa dunia terus terpuruk. Nilai mata uang di pasar uang terus bergejolak. Saluran dana untuk kredit ke sektor industri, infrastruktur dan perdagangan mulai macet. Proses produksi mandek. Dua puluh juta pekerja di seluruh dunia terancam di-PHK.

Banyak pakar ekonomi berkonklusi bahwa penyebab utama dari kontinuitas krisis yang terjadi dikarenakan fundamental sistem ekonomi yang rapuh (fundamental economic fragility). Prof. Dr. Mohammad Malkawi dalam bukunya The Fall of Capitalism and Rise of Islam menjelaskan bahwa terdapat cacat serius dalam sistem ekonomi kapitalisme karena ketidakmampuannya dalam mempertahankan stabilitas ekonomi dunia.

Sistem kapitalisme sebagai pilihan sistem yang dianut untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi tengah memasuki akhir usianya, beberapa negara di belahan dunia sudah menunjukkan reaksi kontradiksi atas kegagalan dari sistem ini.

Slogan-slogan anti kapitalisme bermunculan menghiasi proses unjuk rasa masyarakat di belahan dunia. Di Amerika dan Eropa misalnya slogan -Occupy the Wall Street, Capitalism is the real terrorist, atau Say No to Capitalism- semakin menyeruak dan menggema di berbagai tempat. Hal ini didasari pada asumsi bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang segala kebijakannya diarahkan secara materialistis dengan mekanisme spekulasi, riba, dan keserakahan mengakibatkan kesenjangan aktivitas ekonomi yang membuat kesejahteraan enggan hadir di tengah masyarakat.

Dalam kondisi keterpurukan ekonomi yang hadir saat ini seutuhnya dibutuhkan pilihan alternatif sistem ekonomi yang solutif dengan pendekatan berbeda, baik secara kerangka kebijakan maupun tujuan yang ingin dicapai. Islam sebagai way of life yang bersifat universal dan komprehensif memiliki strategi dalam usahanya memecahkan permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehadiran ekonomi Islam (dibaca; ekonomi syariah) dengan instrument dan strategi anti riba, anti spekulasi, dan anti manipulasi memiliki tujuan yang lebih luas dengan ruang lingkup multidimensi, yaitu Fallah (duniawi dan ukhrawi).

Tulisan ini ingin mencoba mendeskripsikan secara singkat tentang eksistensi ekonomi Islam dalam menjawab masalah ekonomi (dibaca: krisis ekonomi) sehingga pada akhirnya dapat dijadikan instrument dan strategi alternatif – solutif  untuk mewujudkan tujuan kesejahteraan masyarakat secara agregat.

Ekonomi Islam Untuk Dunia Lebih Baik
 
Sebelum terjadinya krisis multi dimensi pada tahun 1997 – 1998, yang kemudian terulang pada tahun 2008 – 2009, dan masih berakumulasi di tahun 2011 – 2012 ini dampaknya masih terasa hingga kini. Ekonomi kapitalis yang meyakini bahwa dengan pertumbuhan ekonomi akan memperbesar kue ekonomi ternyata tidak relevan dan telah gagal mewujudkan kesejahteraan masyarakat seutuhnya. Menurut David C. Korten (2002), usaha yang tidak henti-hentinya dalam mengejar pertumbuhan ekonomi telah mempercepat kehancuran sistem pendukung kehidupan yang ada di planet ini, memperhebat persaingan dalam memperebutkan sumber daya, memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin, dan menggerogoti nilai-nilai dalam hubungan keluarga dan masyarakat. Situasi ini tidak dipungkiri pada akhirnya menjadi kesimpulan yang absolut tentang kegagalan instrument dan strategi ekonomi yang tidak berkeadilan, tidak efisien dan tidak tegas dalam mempercepat pencapaian kesejahteraan masyarakat.

Padahal Menurut Chapra (2000), setiap perekonomian dapat dikatakan telah mencapai efisiensi yang optimal apabila telah menggunakan seluruh potensi sumber daya manusia dan materi yang terbatas sedemikian rupa sehingga kuantitas barang dan jasa maksimum yang dapat memuaskan kebutuhan telah dihasilkan dengan tingkat stabilitas ekonomi yang baik dan tingkat pertumbuhan berkesinambungan di masa yang akan datang. Pengujian efisiensi tersebut terletak pada ketidak-mampuannya untuk mencapai hasil yang lebih dapat diterima secara sosial tanpa menimbulkan ketidakseimbangan makro ekonomi dan sosial yang berkepanjangan, atau merusak keserasian keluarga dan sosial atau tatanan moral dari masyarakat.

Suatu perekonomian dapat dikatakan telah mencapai keadilan yang optimal apabila barang dan jasa yang dihasilkan didistribusikan sedemikian rupa. Sehingga, kebutuhan semua individu memuaskan secara memadai. Di samping itu juga terdapat distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, tanpa menimbulkan pengaruh buruk terhadap motivasi untuk bekerja, menabung, berinvestasi dan melakukan usaha.Keadilan akan membawa kepada efisiensi dan pertumbuhan yang lebih besar. Keadilan dicapai bukan saja dengan meningkatkan kedamaian dan solidaritas sosial, tetapi juga dengan meningkatkan insentif bagi upaya dan inovasi yang lebih besar. Para Ekonom, sebelumnya berpandangan bahwa apabila pertumbuhan dapat diakselerasi, mekanisme trickle-down pada akhirnya akan menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan distribusi pendapatan.Menurut mereka, redistribusi pendapatan yang menguntungkan orang miskin kemungkinan tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam arti output per kapita yang lebih besar.

Keadilan menurut Qardhawi (1994) adalah keseimbangan antara berbagai potensi individu baik moral ataupun material, antara individu dengan komunitas (masyarakat), antara komunitas dengan komunitas.

Keadilan tidak berarti kesamaan secara mutlak karena menyamakan antara dua hal yang berbeda seperti membedakan antara dua hal yang sama. Kedua tindakan tersebut tidak dapat dikatakan keadilan, apalagi persamaan secara mutlak adalah suatu hal yang mustahil karena bertentangan dengan tabiat manusia. Dengan demikian, keadilan adalah menyamakan dua hal yang sama sesuai dengan batas-batas persamaan dan kemiripan kondisi antar keduanya, atau membedakan antara dua hal yang berbeda sesuai batas-batas perbedaan dan keterpautan kondisi antar keduanya.Arti keadilan dalam ekonomi adalah persamaan dalam kesempatan dan sarana, serta mengakui perbedaan kemampuan dalam memanfaatkan kesempatan dan sarana yang disediakan.

Oleh sebab itu, tidak boleh ada seorang pun yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan yang memungkin-kannya untuk melaksanakan salah satu kewajibannya. Juga tidak boleh ada seorang pun yang tidak mendapatkan sarana yang akan dipergunakan untuk mecapai kesempatan tersebut. Untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan harus ada suatu sistem pasar yang sehat. Pasar itu sebenarnya adalah sebuah mekanisme yang canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan ekonomi, sehingga setiap pribadi memberikan sumbangannya bagi keseluruhan dan juga memenuhi kebutuhannnya sendiri dengan kebebasan penuh untuk melakukan pilihan pribadinya. Pasar yang sehat menggalakkan keragaman, prakarsa dan kreativitas pribadi, dan upaya-upaya yang produktif (Korten, 2002).

Pasar yang sehat sangat tergantung pada kesadaran para pesertanya, sehingga harus ada persyaratan agar masyarakat umum menjatuhkan sanksi terhadap orang yang tidak menghormati hak dan kebutuhan orang lain, serta mengekang secara sukarela dorongan pribadi mereka untuk melampaui batas. Apabila tidak ada suatu budaya etika dan aturan-aturan publik yang memadai, maka pasar gampang sekali dirusak. Pasar yang sehat, tidak berfungsi dengan paham individualisme ekstrem dan kerakusan kapitalisme yang semena-mena, dan juga tidak berfungsi lewat penindasan oleh hierarki dan yang tidak mementingkan diri sama sekali, seperti dalam komunisme. Kedua faham tersebut merupakan penyakit yang amat parah.Sistem Kapitalisme telah memberikan kepada individu kebebasan yang luar biasa, mengalahkan masyarakat dan kepentingan sosial, baik material maupun spiritual (Laissez Faire Laissez Fasser).

Sebaliknya, sistem komunisme merampas dari individu segala yang telah diberikan oleh sistem kapitalisme, sehingga individu menjadi kurus, kusut, kehilangan motivasi dan kepribadian. Kesemuanya itu dirampas dan kemudian diberikan kepada sesuatu yang disebut masyarakat, yang tercermin dalam Negara. Negara menjadi gemuk dan berkuasa penuh. Padahal ia tidak lain adalah alat yang terdiri atas sejumlah individu. Akhirnya sekelompok kecil orang menjadi gemuk dan berkuasa di atas penderitaan orang lain, yang nota bene mayoritas dari masyarakat (Qardhawi, 1995).

Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam lahir sebagai sistem ekonomi yang dapat merealisasikan keadilan antara hak-hak individu dengan hak-hak kolektif suatu masyarakat. Pada saat ini, para ahli Ekonomi menggali kembali sistem ekonomi Islam yang pernah berjaya sebelum abad pertengahan. Ruh sistem ekonomi Islam adalah keseimbangan (pertengahan) yang adil. Ciri khas keseimbangan ini tercermin antara individu dan masyarakat sebagaimana ditegakkannya dalam berbagai pasangan lainnya, yaitu dunia dan akhirat, jasmani dan ruhani, akal dan nurani, idealisme dan fakta, dan pasangan-pasangan lainnya yang disebutkan di dalam kitab Al Quran. Sistem Ekonomi Islam tidak menganiaya masyarakat, terutama masyarakat lemah, seperti yang dilakukan oleh sistem kapitalis.

Ekonomi Islam pada hakikatnya tidak menganiaya hak-hak kebebasan individu, seperti yang dilakukan oleh komunis, terutama Marxisme. Akan tetapi, keseimbangan di antara keduanya, tidak menyia-nyiakan, dan tidak berlebih-lebihan, tidak melampaui batas dan tidak pula merugikan. Dalam mencapai keseimbangan tersebut, dibutuhkan adanya lingkungan yang baik dan sadar secara moral yang dapat membantu reformasi unsur manusia di pasar berlandaskan sebuah keimanan. Dengan demikian akan melengkapi sistem harga di dalam memaksimalkan efisiensi maupun keadilan pada penggunaan sumber daya manusia dan sumber daya materi lainnya.

Namun, sangat sulit, untuk mengasumsikan bahwa semua individu akan sadar secara moral kepada masyarakat, dan keimanan saja tidak akan mampu menghilangkan ketidakadilan sistem pasar, sehingga negara juga harus memainkan peran komplementer (Chapra, 2000). Negara harus melakukannya dengan cara-cara yang tidak mengekang kebebasan dan inisiatif sektor swasta berlandaskan kerangka hukum yang dipikirkan dengan baik, bersama dengan insentif dan hukuman yang tepat, check and balance untuk memperkuat basis moral masyarakat dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif.

Oleh karena itu, telah dirasakan bahwa sistem ekonomi kapitalis sekuler yang membedakan antara kesejahteraan material dengan masalah ruhaniah banyak membawa masalah dalam distribusi kesejahteraan yang adil dan seimbang di antara masyarakat. Dengan demikian, sebagaimana yang dikemukakan oleh Fukuyama (1995), bahwa perlu disadari, kehidupan ekonomi tertanam secara mendalam pada kehidupan sosial dan tidak bisa dipahami terpisah dari adat, moral, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat di mana proses ekonomi itu terjadi. Sehingga, membahas pembangunan ekonomi di Indonesia dengan memasukkan nilai-nilai Islam bukan suatu hal yang irrelevant.

Oleh : Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec

0 komentar:

Posting Komentar