Nasabah yang mempunyai rekening di bank konvensional, haram hukumnya secara syar’i menerima hadiah dari bank itu, baik berupa uang tunai, barang (seperti mobil), ataupun bentuk-bentuk hadiah lainnya, baik hadiah langsung maupun melalui undian. Semuanya haram dan termasuk kategori riba yang merupakan dosa besar (kaba`ir).
Dalil keharamannya ada dua; Pertama, karena dalam pemberian hadiah tersebut terkandung unsur promosi/iklan kepada masyarakat. Padahal bank konvensional menjalankan muamalah riba yang diharamkan Islam, yaitu memberi bunga simpanan atau mengambil bunga pinjaman. Mempromosikan sesuatu yang haram hukumnya haram, sesuai kaidah fiqih : At taabi’ taabi’ (segala sesuatu yang menjadi ikutan/cabang dari sesuatu yang pokok, hukumnya mengikuti sesuatu yang pokok itu). Dalam hal ini masalah pokoknya adalah aktivitas riba, sedang promosi aktivitas ribawi adalah masalah cabangnya. Maka pemberian/penerimaan hadiah dari bank konvensional haram, karena termasuk mempromosikan riba yang telah diharamkan. (Yasir Thaha Ali Karawih, Al Mu’amalat al Maliyah al Mu’ashirah, hlm. 108; Imam Suyuthi, Al Asybah wa An Nazha`ir, hlm. 231; Ghamzu ‘Uyun Al Basha`ir, Juz 2/hlm. 264; Khalid bin Abdillah Al Mushlih, Al Hawafiz At Tijariyyah At Taswiqiyyah wa Ahkamuha fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 55).
Kedua, karena pemberian hadiah itu adalah pemberian pihak yang berutang (yaitu bank) kepada pihak yang memberi hutang (yaitu nasabah yang mempunyai rekening). Pemberian ini hukumnya haram. Sebab simpanan/tabungan (wada`i’) dari nasabah di bank konvensional secara syar’i dianggap qardh (utang/pinjaman) yang diberikan nasabah kepada bank. Hubungan antara bank dan nasabah dengan demikian adalah hubungan antara pihak pemberi utang (muqridh), yaitu nasabah, dengan pihak yang berhutang (muqtaridh), yaitu bank. (Umar bin Abdil Aziz Al Matrak, Ar Riba wa Al Mu’amalat Al Mashrifiyyah fi Nazhar As Syari’ah Al Islamiyah, hlm. 345-340).
Maka dari itu, hadiah yang diberikan oleh bank konvensional termasuk riba yang diharamkan oleh nash-nash syara’, di antaranya sabda Rasulullah SAW (artinya), “Jika seseorang dari kamu memberi utang (qardh), lalu dia diberi hadiah, atau dinaikkan di atas kendaraan (milik yang berutang), maka janganlah dia menaiki kendaraan itu dan jangan pula dia menerima hadiah itu, kecuali hal itu sudah pernah terjadi sebelumnya antara pemberi utang dan yang berutang.” (HR Ibnu Majah, hadits no 2432, Juz 2/hlm. 813, dari Anas bin Malik RA).
Adapun hukum menerima hadiah bagi nasabah yang mempunyai rekening di bank syariah, ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di antara fuqoha kontemporer menjadi dua pendapat. Pertama, membolehkan hadiah tersebut karena menganggap tak ada larangan memberi hadiah selama cara distribusi hadiahnya tak melanggar syara’. Kedua, tak membolehkan hadiah tersebut karena dianggap sikap taqlid kepada perbankan Barat. (Basim ‘Amir, Al Jawa`iz Ahkamuha Al Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha Al Mu’ashirah, hlm. 114-115; Said Manshur, Ahkamul Hadiyyah fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 169-170).
Menurut kami, yang rajih adalah pendapat yang mengharamkan, baik hadiah itu diberikan kepada nasabah yang mempunyai rekening tabungan (wadi’ah), maupun yang mempunyai rekening investasi (al hisabat al istitsmariyyah), seperti rekening mudharabah. Hadiah dari rekening tabungan (wadi’ah) jelas haram, sebab termasuk riba yang lahir dari qardh. Adapun hadiah dari rekening investasi (al hisabat al istitsmariyyah), sebagian ulama membolehkannya dengan syarat hadiah diambil dari modal mudharabah, bukan dari labanya. Namun kami cenderung kepada pendapat Ali As Salus yang tetap mengharamkannya. Sebab modal yang diberikan nasabah kepada bank bagaimana pun juga tetap dihukumi sebagai qardh, sehingga hadiah dari adanya qardh hukumnya tetap haram. (Ali As Salus, Mausu’ah Al Qadhaya Al Fiqhiyah Al Mu’ashirah, hlm. 160). Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar