Pemerintah melalui Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) mentargetkan indeks rasio ketimpangan pendapatan kelompok masyarakat atau dikenal dengan rasio gini turun dari 0,42 menjadi 0,36 dalam lima tahun ke depan. Target tersebut sangat enak didengar tapi sangat sulit dilakukan melihat kondisi makro dan mikro ekonomi.
Tingginya rasio gini yang terjadi di negeri ini membuktikan bahwa, jika selama ini pemerataan kesejahteraan mengalami problem yang sangat besar dimana jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin sudah sangat lebar sekali. Dengan rasio gini 0,42 membuktikan bahwa perekonomian nasional hanya berkutat pada kelompok dan segelintir manusia di negeri ini. Jika ini tidak disikapi dengan cermat oleh pemerintah dengan kebijakan -kebijakan pembangunan yang strategis konflik-konflik sosial efek dari ketimpangan akan terjadi dimana mana.
Meskipun pemerintah gencar melakukan pembangunan infrastruktur dan mendorong investor asing tidak ada jaminan bahwa rasio gini tersebut bisa mengalami penurunan. Sebab esensi dari pemerataan kesejahteraan adalah bagaimana distribusi dari produksi dari jasa dan barang mampu menggerakkan sektor riil masyarakat secara merata. Jika barang dan jasa masih dikuasai secara sepihak dan dimonopoli oleh sekelompok orang sangat sulit untuk membicarakan tentang kesejahteraan.
Sebenarnya pemerintah juga paham betul tentang pemerataan ekonomi seiring dengan otonomi daerah. Apalagi, negara ini memiliki sejarah konsep ekonomi kerakyatan yang menjadi tulang punggung roda perekonomian bangsa ini. Namun ironisnya, saat ini pemerataan ekonomi yang ideal masih jauh apa yang diharapkan. Maka tak heran bila setinggi apapun pertumbuhan tidak akan berarti jika tidak ada pemerataan.
Sejatinya pemerintah tidak hanya fasih bicara soal target angka pertumbuhan ekonomi yang hanya diatas kertas, tetapi bagaimana merealisasikan pertumbuhan ekonomi tersebut secara merata. Pasalnya, kondisi pertumbuhan ekonomi yang selama ini digaungkan pemerintah masih semu. Tengok saja, gap ekonomi di daerah dan di kota terbuka lebar. Dimana yang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin, hingga memicu konflik sosial.
Maka di ekonomi Islam memiliki prinsip pentingnya keadilan dalam berekonomi. Dimana distribusi ekonomi dijalankan secara transparan dan merata. Menumbuhkan keadilan ekonomi adalah kewenangan pemerintah dalam membuat regulasi-regulasi ekonomi. Bukan sebaliknya keadilan diserahkan dalam mekanisme pasar sehingga pemenangnya adalah penguasa pasar.
Jadi untuk menurunkan rasio gini yang menjadi konsen pemerintah, prinsip-prinsip ekonomi syariah yang mengedepankan transparasi, keadilan dan etika bisa dijadikan alat barometer pemerintah. Apalagi potensi-potensi ekonomi seperi zakat, infaq, shodaqoh dan wakaf (ziswaf) merupakan modal kapital untuk menaikkan kelas masyarakat miskin menjadi berada. Dengan demikian pengembangan ekonomi Islam di Indonesia akan mendorong turunya rasio gini yang kini menjadi konsen dari pemerintah.
Untuk itu perlu sinergisitas pembangunan nasional yang mengacu pada ekonomi Islam. Sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang selalu ditekankan oleh konstitusi tetap dijalankan di negeri ini.
Sumber : neraca.co.id
0 komentar:
Posting Komentar