Music

Pages

Senin, 29 Juni 2015

HUKUM MULTI AKAD (AL-‘UQUD AL-MURAKKABAH)


Pengertian Multiakad 

Istilah multiakad adalah terjemahan bahasa Indonesia dari istilah-istilah aslinya dalam bahasa Arab, yaitu: al-‘uqud al-murakkabah, al-‘uqud al-maliyah al-murakkabah, al-jam’u bayna al-‘uqud, damju al-‘uqud. Istilah al-‘uqud al-murakkabah digunakan oleh Nazih Hammad dalam kitabnya Al-’Uqud al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hlm. 7. Istilah al-‘uqud al-maliyah al-murakkabah digunakan oleh Abdullah al-’Imrani dalam kitabnya Al-‘Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hlm. 46. Istilah al-jam’u bayna al-‘uqud digunakan oleh AAOIFI dalam kitab Al-Ma’yir asy-Syar’iyyah/Shariah Standards, edisi 2010, hlm. 347. Adapun istilah damju al-‘uqud digunakan oleh Ismail Syandi dalam kitabnya Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 17-18.
Istilah multiakad menurut penggagasnya didefinisikan sebagai kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya akad jual-beli dengan ijarah, akad jual-beli dengan hibah dan seterusnya. Semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad (Lihat: Nazih Hammad, Al-’Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hlm. 7; Abdullah al-’Imrani, Al-‘Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hlm. 46).
Aplikasi multiakad pada lembaga keuangan syariah cukup banyak dan beranekaragam. Di antaranya di bank syariah ada yang namanya akad Al-Murabahah lil Amir bi asy-Syira‘ (Murabahah KPP [Kepada Pemesan Pembelian]/Deferred Payment Sale). Akad ini melibatkan tiga pihak yaitu: pembeli, lembaga keuangan dan penjual. Prosesnya: (1) pembeli (nasabah) memohon kepada lembaga keuangan untuk membeli barang, misal sepeda motor; (2) lembaga keuangan kemudian membeli barang dari penjual (dealer motor) secara kontan; (3) lembaga selanjutnya keuangan menjual lagi barang itu kepada pembeli dengan harga lebih tinggi, baik secara kontan, angsuran, atau bertempo (Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, hlm.107; Ayid Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hlm. 412).
Pada Murabahah KPP ini terdapat dua akad yang digabungkan. Pertama: akad jual-beli antara lembaga keuangan dan penjual (dealer motor). Kedua: akad jual-beli antara lembaga keuangan dan pembeli (nasabah). Kedua akad ini digabungkan menjadi satu akad dalam sebuah multiakad yang diberi nama Murabahah KPP (yang sering disingkat Murabahah saja).
Perlu diberi catatan di sini, bahwa akad Murabahah KPP ini tidak sama persis dengan akad murabahah yang asli, yaitu jual-beli pada harga modal (pokok) dengan tambahan keuntungan yang diketahui dan disepakati oleh penjual dan pembeli. Jadi, dalam murabahah asli hanya ada dua pihak, yaitu penjual dan pembeli, sedangkan murabahah di bank syariah ada tiga pihak yaitu: penjual, pembeli, dan lembaga keuangan syariah. (Shalah ash-Shawi & Abdullah Mushlih, Ma La Yasa’u at-Tajiru Jahlahu, hlm. 77; Abdur Rouf Hamzah, Al-Bay’ fi al-Fiqh al-Islami, hlm. 15; Ayid Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hlm. 399; dst).
Contoh lain aplikasi multiakad adalah akad pembiayaan talangan haji, yang menggabung-kan akad qardh (utang-piutang) dengan akad ijarah (jasa pengurusan haji); juga akad gadai syariah yang menggabungkan akad rahn (gadai) dengan akad ijarah (jasa penitipan barang gadai). Contoh lain adalah akad asuransi syariah, yang menggabungkan akad hibah (tabarru’) dengan akad ijarah (jasa pengelolaan dana premi asuransi), atau kadang digabung lagi dengan akad ketiga yaitu akad syirkah mudharabah. Contoh lainnya lagi adalah akad leasing syariah, atau IMBT (Ijarah Muntahiyah bi Tamlik), yang menggabungkan akad ijarah (sewa aset) dengan akad hibah atau jual-beli aset pada akhir akad. Pendek kata, aplikasi multiakad memang cukup banyak dan beranekaragam dalam muamalah kontemporer.


Hukum Multiakad

Terdapat khilafiyah (perbeda pendapat) di kalangan ulama mengenai boleh-tidaknya multiakad. Pertama: pendapat yang membo-lehkan. Ini adalah pendapat Imam Asyhab dari mazhab Maliki (Hithab, Tahrir al-Kalam fi Masa’il al-Iltizam, hlm. 353), juga pendapat Imam Ibnu Taimiyah dari mazhab Hanbali (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 29/132), dan pendapat Imam At-Tasuli, dalam kitabnya Al-Bahjah, 2/14.
Dalil pendapat pertama ini antara lain kaidah fikih yang berbunyi:
اَلأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ الإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلُّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
Hukum asal muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.

Berdasarkan kaidah ini, penggabungan dua akad atau lebih dibolehkan karena tidak dalil yang melarangnya. Adapun nas-nas yang secara lahiriah melarang penggabungan dua akad tidak dipahami sebagai larangan mutlak, melainkan larangan karena disertai unsur keharaman (mah-zhurat), seperti gharar (ketidakpastian), riba, dan sebagainya. (Ismail Syandi, Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 18).
Kedua: pendapat yang mengharamkannya. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Ini adalah pendapat ulama mazhab Hanafi (Al-Marghinani, Al-Hidayah, 3/53), dan pendapat ulama mazhab Syafii (As-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, 2/42). Pendapat ini juga merupakan satu versi pendapat (riwayat) ulama mazhab Maliki (Hithab, Tahrir al-Kalam fi Masa’il al-Iltizam, hlm. 353), dan satu versi pendapat (riwayat) dari dua pendapat dalam mazhab Hanbali (Ibnu Muflih, Al-Mubdi’, 5/54) (Lihat Ismail Syandi, Al-Musyarakah al-Mutanaqishah, hlm. 18).
Dalil pendapat kedua ini adalah hadis-hadis yang melarang dua syarat atau dua akad, antara lain adalah hadis Hakim bin Hizam ra. yang berkata:
نَهَا نِي رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم: عَنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ فِي الْبَيْعِ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ، وَشَرْ طَيْنِ فِي بَيْعٍ، وَبَيْعٍ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ، وَرِبْحٍ مَا لَمْ تَضْمَنْ
Nabi saw. telah melarang aku dari empat macam jual-beli yaitu: (1) menggabungkan salaf (jual-beli salam/pesan) dan jual-beli; (2) dua syarat dalam satu jual-beli; (3) menjual apa yang tidak ada pada dirimu; (4) mengambil laba dari apa yang tak kamu jamin [kerugiannya]. (HR ath-Thabrani).

Dalil lainnya adalah hadis berikut:
نَهَى عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
Nabi saw. telah melarang adanya dua jual-beli dalam satu jual-beli (HR at-Tirmidzi, hadis sahih).

Ada juga hadis yang menyebutkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلاَ شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ
Tidak halal menggabungkan salaf (jual-beli salam/pesan) dan jual-beli; tak halal pula adanya dua syarat dalam satu jual-beli (HR Abu Dawud, hadis hasan sahih).

Ibnu Mas’ud ra. juga menuturkan bahwa:
نَهَى عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ واَحِدَةٍ
Nabi saw. telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan [akad] (HR Ahmad, hadis sahih).

Hadis-hadis di atas telah menunjukkan adanya larangan penggabungan (ijtima’) lebih dari satu akad ke dalam satu akad. (Lihat Ismail Syandi, Al-Musyarakah al-Mutanaqishah, hlm. 19; Taqiyuddin Nabhani, As-Syakhshiyah al-Islamiyah, 2/308).

Tarjih

Dari dua pendapat di atas, pendapat yang kuat (rajih) menurut kami adalah pendapat kedua, yaitu pendapat yang mengharamkan multiakad. Alasan pen-tarjih-annya adalah sebagai berikut: Pertama, telah terdapat dalil-dalil hadis yang dengan jelas melarang penggabungan dua akad atau lebih ke dalam satu akad. Di antaranya adalah hadis Ibnu Mas’ud ra. bahwa:
نَهَى عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَ ةٍ
Nabi saw. telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan [akad] (HR Ahmad, hadis sahih).

Imam Taqiyuddin an-Nabhani, menjelaskan bahwa yang dimaksud dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatayn fi shafqah wahidah) dalam hadis itu, artinya adalah adanya dua akad dalam satu akad. Misal: menggabung-kan dua akad jual-beli menjadi satu akad, atau akad jual-beli digabung dengan akad ijarah (Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, II/308).
Kedua, kaidah fikih yang dipakai pendapat yang membolehkan, yaitu al-ashlu fi al-muamalat al-ibahah tidak tepat. Pasalnya, ditinjau dari asal-usulnya, kaidah fikih tersebut sebenarnya cabang atau lahir dari kaidah fikih lain yaitu:
اْلأَصْلُ فِي اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّحْرِيْمِ
Hukum asal segala sesuatu adalah boleh selama tak ada dalil yang mengharamkan-nya.

Padahal kaidah fikih tersebut hanya berlaku untuk benda (materi), tidak dapat diberlakukan pada muamalah. Sebab, muamalah bukan benda, melainkan serangkaian aktivitas manusia. Mengapa dikatakan bahwa kaidah tersebut hanya berlaku untuk benda? Sebab, nash-nash yang mendasari kaidah al-ashlu fi al-asy-ya’ al-ibahah (misal QS Al-Baqarah [2]: 29) berbicara tentang hukum benda (materi), misalnya hewan atau tumbuhan, bukan berbicara tentang muamalah seperti jual-beli.
Ketiga, kaidah fikih al-ashlu fi al-muamalat al-ibahah juga bertentangan dengan nash syariah sehingga tidak boleh diamalkan. Nash syariah yang dimaksud adalah hadis-hadis Nabi saw. yang menunjukkan bahwa para Sahabat selalu bertanya lebih dulu kepada Rasulullah saw. dalam muamalah mereka. Kalau benar hukum asal muamalah itu boleh, tentu para Sahabat akan langsung beramal dan tak perlu bertanya kepada Rasulullah saw.
Sebagai contoh, perhatikan hadis yang menunjukkan Sahabat bertanya kepada Rasulullah saw. dalam masalah muamalah sebagai berikut:
عَنْ حَكِيْم بِنْ حِزَامٍ رَضِيَ الله عَنْه أَنَّه قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلُ الله إِنيِّ أَشْتَرِي بُيُوْعاً فَمَا يَحِلُّ لِي مِنْهَا وَمَا يَحْرُمُ عَلَيَّ؟ قَالَ: فَإِذَا اشْتَرَيْتَ بَيْعاً فَلاَ تَبِعْهُ حَتَّى تَقْبِضَهُ
Hakim bin Hizam ra. berkata, “Aku pernah bertanya, ’Wahai Rasulullah saw., sesungguh-nya aku banyak melakukan jual-beli, apa yang halal bagi diriku dan yang haram bagi diriku?’ Rasulullah saw. menjawab, ’Jika kamu membeli suatu barang, jangan kamu menjual barang itu lagi hingga kamu menerima barang tersebut.’” (HR Ahmad).

Dalam hadis di atas jelas sekali bahwa Sahabat Nabi saw. bertanya kepada Rasulullah saw. dalam masalah muamalah sebelum berbuat. Andaikata benar hukum asal muamalah itu boleh, tentu Sahabat tersebut langsung saja melakukan muamalah dan tidak usah repot-repot bertanya kepada Rasulullah saw. Dengan demikian hadis Hakim bin Hizam ra. ini dengan jelas menunjukkan bahwa kaidah al-ashlu fi al muamalat al-ibahah adalah kaidah yang batil.
Keempat, pendapat yang menyatakan bahwa penggabungan akad (multiakad) hanya haram jika disertai unsur keharaman, tidak dapat diterima. Sebab, dalil-dalil yang melarang penggabungan akad bersifat mutlak. Artinya, baik disertai unsur keharaman maupun tidak, penggabungan akad itu tetap haram. Perhatikan, misalnya, hadis Ibnu Mas’ud ra.:
نَهَى عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ
Nabi saw. telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan [akad] (HR Ahmad, hadis sahih).

Nash di atas mengungkapkan lafal shafqa-tayni fi shaqah wahidah (dua kesepakatan dalam satu kesepakatan) secara mutlak, yakni tanpa disertai batasan atau sifat tertentu, misalnya kesepakatan yang disertai hal-hal yang haram. Jadi yang dilarang adalah penggabungan akad secara mutlak; tanpa melihat lagi apakah penggabungan akad ini disertai keharaman atau tidak.
Pemahaman nash yang demikian itu didasarkan pada kaidah ushul fikih yang menyebutkan: al-muthlaqu yajri ‘ala ithlaqihi ma lam yarid dalil at-taqyid (lafal mutlak tetap dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang membatasinya) (Wahbah Az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 1/208).
Dalam hal ini tidak terdapat nash yang memberikan taqyid (batasan) pada kemutlakan nas-nas tersebut. Dengan demikian pengga-bungan akad secara mutlak adalah haram baik disertai unsur keharaman atau tidak.


Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, terdapat dua kesimpulan. Pertama: multiakad merupakan masalah khilafiyah. Ada sebagian ulama yang membolehkannya. Namun, jumhur (mayoritas) ulama mengharamkannya. Kedua: pendapat yang rajih (kuat) menurut kami adalah pendapat jumhur ulama yang mengharamkan multiakad. WalLahu a’lam. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, MSI]

0 komentar:

Posting Komentar